21

10.4K 953 60
                                    

.

.

.

Ellen menggandeng tangan si bungsu memasuki gedung pencakar langit tempat Max bekerja. Suasana di lantai satu yang penuh riuh dengan aktivitas yang berbagai macam, tak jarang membuat El sedikit ketakutan, hingga dia pun bersembunyi di balik tubuh ibunya. Ellen hanya menenangkan dirinya sembari berujar " Tidak papa, sayang. Tidak ada orang jahat di kantor, Diddy," ujarnya.

Walau kenyataan yang sebenarnya tidak demikian. Di kantor yang memiliki 20 lantai itu berisi dengan berbagai macam tipe orang, ada yang benar-benar baik, sedikit baik, dan ada juga yang tak bisa dikatakan baik namun giat bekerja. Penuh dengan rupa-rupa. Ellen hanya cuek walau banyak karyawan yang berbisik-bisik kecil akan kehadiran mereka, baginya itu sudah biasa.

Mereka pun tiba di lantai atas gedung itu, tempat ruangan Max berada. Max yang tahu jika El akan datang, tentunya sudah meluangkan waktunya sebentar.

"Diddy..." El berlari kecil untuk memeluk sang ayah yang sudah melebarkan tangannya.

"El tumben datang ke kantor, Diddy senang sekali," ujar Max setelah memberi satu ciuman manis di pipi El. El pun menaikkan tangannya, pertanda ingin digendong, dengan mudah Max pun menggendong baby El.

"Baby El membawa makanan untuk Diddy, ya?" Tanya Max. Karena dia lihat El menenteng sebuah tas bekal berwarna pink.

"Itu bukan makan siang, sayang. Kami hanya membawa puding untukmu," ujar Ellen menambahi.

"Lalu kalian datang ke sini untuk apa? Hanya untuk memberi puding ini?" Max terheran, Ellen paling anti keluar rumah jika tidak ada hal yang perlu. Apalagi sampai harus menemui Max di kantor, Ellen sangat malas melakukan itu.

"Tanya saja anakmu dia ingin apa," ujar Ellen yang membuat Max makin penasaran.

"Baby El ingin apa? Kenapa tumben datang ke kantor Diddy?"

"Mau cepeda," ujar El dengan mata yang memelas. Max menatapnya, dan El balas menatap dengan mata yang mengerjap-erjap.

"Kenapa tidak ditelpon saja, sayang. Nanti Diddy bisa pesan dan diantar ke rumah," ujar Max. El sampai saat ini belum pernah punya sepeda, ayahnya selalu melarang dengan alasan takut membahayai si bungsu kesayangan.

"El mau pilih cendili, walna bilu tantik. Di citu dak ada bilu," ujar El lalu menunjuk ponsel sang ibu yang terletak di meja.

"Apa maksudnya sayang?" Max yang kurang mengerti tentang penjelasan El, akhirnya meminta Ellen untuk menjelaskan lagi. Walaupun El belum bisa berbicara jelas, namun Ellen selalu memahaminya dengan baik. Dia seorang ibu yang hampir sepanjang hari bersama El, tentu dia mengetahui apa yang El inginkan dan butuhkan.

"Jadi, tadi pagi setelah kalian berangkat kerja dan kuliah, El keluar dari rumah dan ternyata pergi ke garasi. Awalnya dia hanya diam melihat pekerja membersihkan mobil di sana, tapi ternyata dia melihat sepeda gunung Cashio yang di sudut garasi itu. Dia paksa supaya sepeda itu dikeluarkan, dia ingin menaikinya walau kakinya saja tidak sampai. Dia merengek terus ingin naik sepeda itu, akhirnya aku bilang untuk membeli sepeda baru saja untuknya. Karena itu kami datang kemari," ujar Ellen.

"Lalu maksudnya warna biru tidak ada itu apa?"

"Aku sempat menunjukkan gambar sepeda dari internet, yang aku tunjukkan sengaja hanya warna pink. Tapi dia inginnya biru..." ujar Ellen sambil tertawa kecil. Tidak memiliki anak perempuan membuat Ellen kadang melampiaskan kegilaannya pada El. El sering dia belikan baju berwarna pink, namun El selalu menolak dan akan meminta baju warna biru. El itu tidak bisa dibohongi kalau soal warna.

"Baiklah, kita akan makan siang dulu baru kita beli sepedanya ya baby. Baby ingin berapa?" Tanya Max. El yang sedang asik memakan puding yang katanya untuk Diddy itu pun lantas menoleh.

Lagniappe (END)Where stories live. Discover now