15 dan 16

15.5K 1.1K 77
                                    

.

.

.

Flashback

Katakan di mana, Mommy adik dan kalian !!!" ujar Max dengan sorot matanya yang amat tajam. Sorot mata itu, seakan hendak membunuh si kembar saat ini.

"Kami tidak tahu," ujar Cashiel dengan nadanya yang tenang. Berbeda lagi dengan Cashio, anak tengah dan bungsu dari kembar itu mulai terlihat memerah wajahnya. Amarahnya sedang dia redam dengan sangat kesusahan.

"Kalian jangan membohongi Daddy ! Di mana adik kalian, kalian pasti mendapatkan kabar dari Mommy. Katakan di mana," ujar sang kepala keluarga lagi.

"Kami betul-betul tidak tahu." Cashio tiba-tiba bersuara dengan nada tinggi, pemuda itupun bangkit dari duduknya.

"Daddy sendiri bagaimana? Di mana kekuasaan yang selama ini kau banggakan itu? Di mana anak buah dan bodyguards yang sering kau andalkan itu? Kenapa Mommy dan El belum
ditemukan juga?" Cashio sepertinya benar-benar kehilangan respect pada pria yang ada di hadapannya ini. Ayah yang mengajarkan mereka untuk menjadi pemuda yang setia, kini menjelma seperti layakya penipu ulung.

"Jika Daddy benar-benar serius untuk mencari Mommy, tentu kau bisa melakukan apa saja. Bahkan menyewa intel terhebat di negeri ini pun bisa. Tapi, ternyata Daddy egois, Daddy tidak benar-benar mencari mereka. Daddy hanya berpura-pura baik saja," ujar Cashio lantas memukul meja dari kayu pilihan di depannya sebanyak dua kali.

"Tutup mulutmu, kau tidak tahu aku sudah melakukan banyak hal..." Max balas menyerang, ikut bangkit dari duduknya.

"Sudah-sudah, Cashio. Kita pergi, kita cari Mommy dengan cara kita sendiri." Sebelum amarah membuat masalah, Cashiel pun membawa kembarannya itu pergi. Meninggalkan Max seorang
diri di ruang makan itu. Maksud untuk berbicara dan mencari solusi dengan baik, malah berakhir seperti ini.

Max menghempaskan kembali tubuhnya ke kursi, pria usia 40 tahunan itu merasa sangat bodoh. Tanpa sadar air matanya pun jatuh, begini sakitnya ditinggal keluarga.

"Daddy minta maaf, baby. Kalian di mana?" Gumamnya dengan air mata yang tak terbendung. Para pelayan yang melihatnya ikut merasa iba, belum pernah mereka lihat Max menangis seperti saat ini. Terakhir mungkin, saat El pertama kali memasuki rumah itu setelah dilahirkan. Sekitar 14 tahun lalu.

"Maaf, hiks... Maafkan aku..." ujarnya dengan pilu sambil memukuli dadanya sendiri.

...

Max tak bisa konsentrasi lagi dengan pekerjaan, pulang lalu beristirahat di rumah sepertinya adalah keputusan yang tepat. Sejak tadi kerjanya hanya melihat foto Abigael berulang kali, atau melihat foto keluarga besarnya. Pria itu rindu sekali.

"Maaf, Diddy akan segera menyelesaikan semuanya," ujarnya pada layar ponsel itu lalu mengecupnya berulang kali. Max pun langsung pulang dan suasana berbeda menyambut dia di rumah itu.

Tidak ada Ellen yang marah-marah karena Max tidak makan siang, tidak ada El yang akan merengek minta dipeluk lalu digendong dan tidak ada suara gaduh dari kamar anak
kembarnya. Semua terasa hampa.
Rumah besar ini bagai tak berpenghuni, kecuali para pelayan yang senantiasa melakukan tugas mereka dalam diam.

Max langsung tidur saat itu juga. Membuang penat dan lelah dalam waktu istirahatnya. Berharap saat bangun tidur nanti pikirannya bisa lebih jernih. Hampir 3 jam pria itu tertidur. Suara berisik dari ruang keluarga pun menganggu tidur
nyenyaknya. Ternyata jam sudah lewat dari jadwal makan malam.

"Mommy...?"

"El...?"

Suara dari anak-anaknya yang berada di ruang santai mereka. Max mepertajam pendengarannya, seraya melangkah ke luar.

Lagniappe (END)Where stories live. Discover now