8

18.3K 1.2K 58
                                    

.

.

.

Suasana di ruangan itu begitu kacau, lantai sudah penuh dengan barang-barang yang tak sepatutnya berada disana. Sambil menangis, wanita itu berusaha menghalau darah yang keluar dari tangannya dengan ujung pakaiannya sendiri.

Pintu ruangan itupun terbuka, Luwis masuk menghampiri Launa dengan wajah marah dan sedihnya.

"Apa yang, Mama lakukan?" bentak Luwis saat dia lihat lantai sudah banyak darah.

"Hiks... hiks..."

"Kenapa, Mama melukai diri Mama sendiri?"

Luwis begitu panik. Dia jauhkan sebilah kaca yang dia yakini digunakan sang ibu untuk menyakiti dirinya, bukan kali pertama Launa melakukan self injury, semua bermula semenjak kematian adik Luwis.

"Mama..." Luwis menggeleng seraya membawa Launa dalam dekapannya.
Demi apapun itu, Luwis tidak ingin kehilangan lagi, dia tak mau menjadi seorang yang gagal saat menjaga orang terkasihnya.

"Mama, ingin mati. Biarkan Mama bertemu adikmu di surga, hidup Mama tak ada artinya lagi. Mama ingin mati..." wanita itu berteriak bak orang kesetanan. Begitu besar penyesalan dalam dirinya hingga dia tak bisa berbuat apapun lagi, sang anak istimewa mereka dulu dia sia-siakan begitu saja. Tak pernah ada kecupan sayang di keningnya, hanya kata-kata makian yang terdengar hampir di setiap harinya.

"Ma, adik sudah tenang di sana. Kita sekarang hanya perlu berdoa, dia juga tak suka melihat Mama terus sedih seperti ini."

"Mama ingin adikmu kembali, hiks... hiks..."

"Tidak mungkin lagi, Ma."

"Itu di sana, adek ada di sana."

Launa langsung berdiri kemudian berlari mengambil salah satu bingkai foto sang anak yang telang tiada. Dia timang bingkai itu layaknya seorang bayi, dia elus lalu diberi kecupan panjang.

"Babynya Mama, mau bobok ya?" ujarnya pada benda mati itu.

"Hiks... hiks...jangan marah sama Mama. Kita bobok ya..."

Launa naik kembali ke ranjang lalu memeluk bingkai itu dalam selimut. Tangannya yang luka masih belum diobati hingga darahnya bercecer kesana kemari. Luwis menundukkan kepalanya karena tak kuasa menahan tangis, apakah ini hukuman dari Tuhan karena mereka tak mampu menjaga hadiah berharga itu?

Luwis mengambil kotak obat lalu membersihkan luka sang ibu di mana Launa sudah mulai mengantuk sambil memeluk bingkai foto itu.

"Ma, maafkan aku yang tak bisa berbuat banyak. Tapi, aku yakin cepat atau lambat, kebahagiaan kita akan kembali. Akan aku bawa seorang anak istimewa yang baru untuk menemanimu." 

Luwis menutup luka itu dengan plester lalu mengecup kening sang ibu dengan lama.

Dia rogoh ponselnya dari saku celana, bibirnya tersenyum tipis saat melihat foto Abigael ada di sana.

"Dia begitu manis, aku ingin dia menjadi adikku dan demi Mama juga."

...

Jika Luwis disambut dengan kepanikan pagi ini, maka di lain tempat tepatnya di kamar Cashio malah disambut dengan ke imutan yang hakiki.

Semenjak tadi, Cashio merasakan sesuatu yang dingin terus menyentuh wajahnya, hidungnya juga merasa nyaman saat menghirup aroma manis berbau susu atau minyak bayi. Intinya dia ketagihan dengan aroma itu, hingga dia berusaha untuk mencari sumbernya.

"Kak Io, banun..."

"Hm..."

"Kak, dak boyeh malas..."

Lagniappe (END)Where stories live. Discover now