"Buat Papa, nggak ada masalah. Sepanjang kamu yakin dan merasa bahagia, Nak. Dexter memang pernah bersama Ellen tapi mereka nggak berjodoh. Mungkin di mata orang awam, menjadi hal yang aneh karena kamu dekat dengan dia. Tapi, Papa mengenalmu. Papa tahu kamu bukan orang yang ceroboh."

Rhea hanya mampu tersenyum karena kata-kata menenangkan dari ayahnya. Hingga bom dijatuhkan. "Tadi Dexter menelepon Papa."

"Hah?" Rhea yakin telinganya bermasalah.

"Dexter menelepon Papa," ulang ayahnya. "Dia bilang kalau sekarang kalian sedang dekat. Dia minta maaf karena tidak bicara lebih dulu pada Papa soal kalian. Yang Papa tangkap, dia berusaha menunjukkan bahwa dia nggak sedang memanfaatkanmu atau semacamnya. Hal-hal yang Mama dan Papa takutkan."

Rhea tidak tahu bagaimana harus merespons berita itu. "Oh ya?"

"Dexter juga bilang, kamu lagi marah besar karena salah paham. Dia, sih, nggak menjelaskan apa yang terjadi. Intinya, dia minta bantuan Papa. Cuma untuk bilang kalau dia minta maaf. Dan nggak berniat melakukan hal yang menyakiti hatimu."

Rhea sesak napas. Untuk apa laki-laki lancang itu bergosip tentang hubungan mereka dengan ayahnya? Kepalanya mendadak berdenyut. Rhea tidak mengira jika Dexter mengambil jalan sejauh ini setelah semua teleponnya diabaikan. Mungkinkah lelaki itu ....

"Kalian bertengkar, ya? Dexter bilang, kamu nggak mau menerima teleponmu."

"Lain kali, kalau dia menelepon Papa, abaikan saja. Dia nggak seharusnya merecoki Papa dengan bergosip tentang aku," kata Rhea kesal. Kendati demikian, dia tak mampu menghalau perasaan hangat yang memenuhi dadanya. Dia tidak mampu membayangkan Dexter bicara dengan ayahnya karena mereka bertengkar.

"Sebagai laki-laki, Papa cuma bisa bilang satu hal. Itu cara Dexter menunjukkan niat baiknya. Mungkin sekarang masih terlalu dini untuk menyimpulkan kalau dia serius sama kamu, Rhea. Karena masalahnya dengan Ellen pun belum lama, kan? Minimal, dia berusaha mendapat kepercayaan Papa."

Apa pun kesimpulan irvan, Rhea benar-benar tidak nyaman. Seharusnya Dexter tidak melibatkan ayahnya dalam masalah mereka, kan?

"Papa cuma mau menyampaikan pesannya saja. Papa senang kalau kamu akhirnya membuka hati pada seseorang. Meski kita belum tahu bagaimana akhirnya nanti."

Kalimat bijak ayahnya membuat perasaan Rhea membaik. Perempuan itu akhirnya cuma bisa menggumamkan terima kasih. Sayang, badai belum sepenuhnya reda. Dia bahkan belum punya waktu untuk benar-benar memikirkan percakapan dengan sang ayah ketika Ellen memasuki kamar sang adik. Hanya satu jam setelah perbincangan Rhea dengan ayahnya, Ellen mengunjungi rumah keluarga mereka. Nyaris berbarengan dengan kepulangan ibunda Rhea.

"Aku dan Richie bertengkar," beri tahu Ellen sambil menutup pintu kamar sang adik.

"Suami istri, kalau nggak berantem, bukannya malah aneh? Kalian, kan, masih pengantin baru, sedang menyesuaikan diri. Katanya, sih, itu saat-saat yang sering diwarnai pertengkaran. Kata psikolog, loh, ya." Rhea menuju ranjang, bersiap merebahkan diri. Tubuhnya terasa lelah dengan leher yang kaku karena terlalu banyak menunduk sehari ini. Dia menghabiskan waktu dengan mempelajari setumpuk dokumen.

"Rhea! Jangan cuek begitu, dong! Kamu nggak dengar apa? Aku dan—"

"Aku dengar, El!" tukas Rhea. "Aku bukan orang yang tepat untuk diajak bicara soal pertengkaran suami istri."

Ellen duduk di tepi ranjang, memandang adiknya dengan ekspresi memelas. "Kamu sekarang, kok, berubah, sih? Jadi nggak peduli lagi padaku."

Rhea menutup wajahnya dengan bantal. Sungguh, dia hanya ingin merasakan ketenangan tanpa diimbuhi dengan persoalan orang lain. Dia sendiri punya setumpuk masalah yang masih mengambang. Ketika akhirnya bantal itu diturunkan, Rhea menatap kakaknya dengan sungguh-sungguh saat bicara.

Oh, Darling! [The Wattys 2021 Winner - Romance]Where stories live. Discover now