BAB 2: Sampai Jumpa Lagi, Glen

117 93 50
                                    

Event kejuaraan tahunan itu resmi berakhir. Akhir yang memuaskan. Karena untuk pertama kalinya, aku mendengar Kak Ari memuji hasil kerja keras kami. Good job, amazing, the best. Begitu katanya. Ia juga terang-terangan menyematkan namaku di sela-sela pidato penutupannya. Special thanks to the greatest event coordinator, Anya. Kak Ari lantang sekali mengucapkannya di depan Bapak Kepala Sekolah, di depan Bapak Walikota Surabaya, di depan dewan-dewan guru, di depan ribuan penonton, juga di depan dia—Glen. Otak dari seluruh ide cemerlang yang kemudian dititipkan padaku. Sebetulnya Kak Ari bahkan lebih pantas menyematkan namanya di sela-sela pidato penutupan. Posisiku sungguh cuma topeng. Topeng dari Glen yang berdiri di belakangku memikirkan segalanya.

"Serius lo Nya?!" mata Kalu membelalak tajam. Ia berteriak kencang sekali. Kantin yang selalu lebih ramai pada jam istirahat kedua—jam yang seharusnya digunakan untuk sholat Dzuhur—masih kalah heboh dengan suara Kalu yang setengah terkejut setengah membentakku.

Tiga minggu setelah acara penutupan kegiatan kejuaraan tahunan. Artinya, sudah tiga minggu pula aku tidak bertemu Glen lagi. Atau mungkin selamanya kami tidak akan pernah bertemu kembali. Ia entah ada dimana sekarang. Ia tidak mencariku, apalagi aku mencarinya. Tidak ada usaha sama sekali. Karena dulu aku tidak pernah tahu, ia akan menjadi begitu penting dalam hidupku. Karena dulu aku tidak pernah tahu, waktu bersamanya akan berjalan begitu singkat.

"Serius lo nggak tahu siapa dia?!" Kalu lagi-lagi menghujatku dengan pertanyaan yang sama.

Aku mengedikkan bahu tidak selera, "Dia kakak kelas. Dua belas IPS 3. Mantan ketua pelaksana championship tahun lalu. Memangnya apa lagi?"

Tapi rupanya aku masih tidak tahu siapa Glen. Identitasnya yang kubaca dalam proposal itu tidak berarti apa-apa. Aku masih tidak mengenal siapa ia sesungguhnya. Kukira, saat pertama kali menyebut namanya di depan Kalu, Kalu akan bertanya bingung. Kukira Kalu tidak tahu siapa Glen. Kukira Kalu akan memintaku menunjukkan fotonya atau mengajakku mendatangi kelasnya. Kukira lagi, Kalu juga akan terpana saat pertama kali melihat wajah Glen yang amat tampan. Kenyataannya, ia memang terpana. Nyaris tidak berkedip selama tiga puluh detik malah. Tetapi itu sudah sejak lama.

Apalagi saat melihat reaksi Kalu di menit-menit berikutnya. Wajahnya yang tiba-tiba memekik terkejut begitu kusebut nama Glen. Pipinya yang sekarang semerah udang rebus. Nada bicaranya yang mulai terdengar ngegas setiap kali menimpali ceritaku tentang Glen. Aku merasa telah menjadi orang paling kuno, manusia paling tidak up to date di sekolah ini.

"Anya! Lo kemana aja sih selama ini?! Aduh... Apa gue bilang? Lo harus sering-sering ikut kegiatan biar nggak katrok begini!"

Aku menghentikan aktivitas menyeruput es tehku. Melotot ke arah Kalu, "Enak aja! Gue tuh cuma nggak pernah dengar nama 'Glen' di sekolah ini. Cuma itu! Bukan berarti gue katrok dong?"

"Ya, itu masalahnya! Yang lo nggak pernah dengar namanya itu Kak Glen. Kak Glen, Anya! Bukan Kak Ari apalagi Raihan!" cercanya dengan nada ngegas menyebalkan itu.

"Biasa aja deh, Lu! Selalu gini lo tuh kalau dengar nama cowok ganteng!" aku menggeser tempat duduk menjauh dari Kalu. Mulai merasa risih dengan sikapnya yang amat berlebihan.

"Tuh kan! Lo aja ngaku kalau dia ganteng. Apalagi semua cewek di sekolah ini, Nya!"

Aku tidak mendengarkan lagi. Kalu itu memang begitu orangnya. Hobinya nge-stalk cowok-cowok yang ia anggap tampan. Paling suka kalau diajak nonton pertandingan tim basket di pinggir lapangan. Surga dunia, katanya. Atau nonton latihan Paskibraka sekolah kami setiap sore. Yang komandan peletonnya lagi-lagi berhasil membuat ia kepincut. Atau jalan-jalan ke gedung kelas dua belas. Ngapelin mantan ketua osis tahun lalu. Kak Sena namanya. Kalau yang satu ini, kuakui Kak Sena memang sedikit manis. Sedikit. Meski setelah bertemu Glen, semua predikat manis tentang Kak Sena berpindah seketika. Kak Sena bertubuh tinggi. Kulitnya bersih. Senyumannya menawan, apalagi kalau kalian beruntung bisa melihat lesung pipinya. Rambut undercut. Datang ke sekolah pakai motor gede pula. Siapa sih yang tidak mau jadi pacar Kak Sena? Dan tentu saja bukan cuma Kalu yang kepincut. Tapi semua cewek di sekolah kami. Semua, kecuali aku.

ButterflyWhere stories live. Discover now