"Mereka jahat, Om. Mereka gak punya hati. Mereka bikin aku kehilangan Daddy sama Abang. Mereka udah berantakin hidup aku."

Oife terisak dalam pelukan Sharga yang senantiasa mengusap punggung rapuhnya, "Aku udah gak kuat, Om. Aku nyerah. Apa kehadiranku kesialan bagi mereka?"

"Aku cuma pingin bahagia. Aku selalu berharap hubungan kami baik-baik aja meskipun Daddy sama Mommy udah cerai. Keinginanku gak merepotkan. Aku pingin semuanya kembali seperti sebelum wanita itu hadir di tengah-tengah kami bertiga."

"Kenapa aku harus ngerasain penderitaan ini? Apa tujuanku dilahirkan ke dunia hanya untuk disakiti? Aku salah apa Om? Tolong kasih tau aku di mana letak kesalahanku."

"Apa aku gak pantas bahagia? Apa aku gak bisa sekali aja hidup dengan tenang tanpa gangguan orang-orang jahat itu?"

"AYO OM JAWAB PERTANYAANKU! APA AKU MEMANG DITAKDIRKAN UNTUK TERSAKITI TERUS-MENERUS?!" teriak Oife membuat Sharga ikut merasakan sakitnya. Jujur, ini kali pertama Sharga melihat tembok-tembok kokoh yang tersusun rapi di sekeliling Oife perlahan runtuh.

Sharga mengurai pelukan, menatap teduh wajahnya, "Tenangkan dirimu, Nak. Ingat, kamu gak pernah salah. Kamu gak pernah melakukan satu kesalahan pun. Kamu anak baik. Kamu bisa mendapatkan kebahagiaan yang kamu harap-harapkan. Kamu bisa sayang. Anak angkatnya Om Sharga sangat kuat. Om yakin kamu mampu melalui hari-hari yang terlampau berat ini. Jangan lupakan Om yang akan selalu ada buat kamu."

"Hidup Om terlalu damai untuk hidupku yang kacau ini. Om gak perlu memaksakan diri. Aku tau selama ini Om capek setiap hari ke sana kemari ngurus segala keperluan dan pengobatan Mommy. Om butuh istirahat. Aku bakal gantiin tugas Om buat jagain Mommy."

"Apapun yang berhubungan dengan kalian, Om sama sekali gak pernah bosan apalagi capek. Om tulus bantu kamu, tulus ngejaga Mommy kamu. Jadi berhenti mikir kalau Om terlalu memaksakan diri karena pada kenyataannya Om sangat suka berurusan dengan kalian. Terutama Mommy kamu. Om menyukainya. Dan kamu perlu mengetahui hal yang satu itu."

Oife terdiam. Matanya menatap lurus ke arah Sharga yang tersenyum lembut.

"Om serius? Om suka Mommy aku?"

Sharga mengangguk, "Bahkan diam-diam Om sudah mencintai Mommy kamu. Om tulus sayang kalian berdua. Semenjak mamanya Razor tiada, hanya Razor yang Om punya di dunia ini. Tapi, sekarang, Om bersyukur sekali dipertemukan dengan kamu dan juga Mommy kamu."

"Oife seneng banget tau Om Sharga suka sama Mommy. Ayo kejar Mommy, Om. Om pasti bisa luluhin hati Mommy. Aku bakalan support Om dari jauh. Semangat!"

"Apa itu artinya kamu memperbolehkan Om masuk ke kehidupan kalian?"

Oife mengangguk antusias. Tangisannya bahkan sudah surut sejak awal mereka membahasnya. Namun ada kilatan sedih terlihat di pancaran matanya.

"Seandainya nanti aku pergi, tolong jaga Mommy buat aku, ya, Om. Janji sama aku kalau Om bisa bahagiain Mommy. Om harapan terbesarku. Aku mohon jangan kecewain aku." Perkataan Oife ibarat seseorang yang akan pulang ke sang pencipta dan sosoknya tak akan kembali lagi. Sharga memandangnya bingung, tapi lidahnya terlalu kaku untuk digerakkan.

"Ayo kita temui Mommy." Oife menarik pelan tangan Sharga, menggenggamnya, membawanya turut menghampiri Elora yang tengah duduk di kursi roda. Saat langkahnya kian dekat, jantung Oife berdetak tak karu-karuan. Keringat membasahi kening hingga pelipisnya. Wajah berserinya digantikan sendu yang amat kentara.

Oife melepaskan tangan Sharga. Maju selangkah, Oife berkata, "Mommy, ini aku. Puteri kecilnya Mommy."

Kursi roda yang Elora duduki berbalik arah. Wanita itu mengangkat wajahnya dengan senyum mengembang, namun hanya bertahan sebentar sebelum dirinya berteriak kesetanan di tempatnya. Sharga yang menyaksikannya terkejut lalu buru-buru menahan bahu Elora.

JENARO Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ