07

496 91 0
                                    

"Kamu ingin belajar pedang, tapi kamu takut berhadapan dengan anak laki-laki yang sudah berlatih pedang sejak mereka masih kecil. Ya, tidak semua guru paham kekhawatiran hatimu itu. "

Oh, sepertinya Guru salah paham.

Aku lebih tertarik pada sihir daripada pedang sebenarnya. Tapi karena aku harus belajar pedang untuk menjadi seorang ksatria, aku terpaksa bergabung dengan departemen ilmu pedang.

Tapi aku tetap memasang ekspresi memelas dan mengangguk perlahan.

"Tapi, seperti yang Schreina tahu, seorang gadis memilih jurusan pedang memang lebih sulit. Karena itu, guru ingin memuji Schreina atas pilihan menantangmu yang berani."

Semua siswa di kelas sudah berdiri dalam dua baris yang rapi. Suasana riuh dan kacau tadi juga sudah mereda. Jadi hanya suara guru yang bergema di aula pelatihan.

Mata para siswa otomatis tertuju ke arah kami. Aku menyeka dahiku yang sepertinya mulai berkeringat dingin, tapi ternyata itu kering.

"Kalau kamu sudah memulai sesuatu, jangan menghindarinya lagi. Bahkan kalau kamu takut. Kupikir itulah yang dinamakan ksatria, untuk berjuang sampai akhir! Kalau kamu ingin bertahan di tempat ini, tidak ada cara lain. Jangan pilih-pilih cara bertahan hidupmu! Kalau kau ingin mencapai puncak, pahat terus, kamu harus melakukan semua yang kau bisa!"

Guru memberiku pedang dengan tatapan berapi-api. Walaupun aku tidak tahu drama mengharukan apa yang sedang dimainkan dalam pikirannya, matanya merah karena air mata. Guru ini secara menyebalkan adalah orang yang sangat baik.

Aku mulai gugup. Sudah ada tekanan dari semua tatapan yang terkunci padaku. Dan rasanya guru ini justru menambahinya.

Guru meletakkan tangannya di pundakku dan mulai melihat anak-anak di kelas ilmu pedang. Anak-anak tersentuh ketika mereka mendengar pidato singkat dari guru, dan mereka menatap mendukungku.

Guru menebarkan pandangannya pada para siswa laki-laki itu beberapa saat, lalu berkata, "Oh, ya." Guru memanggil seseorang dengan kalimat pendek yang diucapkannya.

"Hailey, tolong kemari sebentar."

Jantungku berdebar kencang. Dengan mata terbuka lebar, aku menggelengkan kepalaku panik, mengirim sinyal pada guru dari samping, memintanya untuk tidak melakukan itu. Tapi sayangnya dia tidak menangkap sinyalku.

Hail tampak terganggu dan kesal, tetapi kemudian bergerak ke tempatku berada. Dia berdiri di depan guru dan membuat mataku semakin melebar.

"Apa Anda akan membuatku melakukan sesuatu yang menyebalkan lagi?"

Dengan nada blak-blakan, guru itu tertawa.

"Sebagai gantinya, aku tidak akan memberi tahu Baginda kalau Hailey membolos kelas pedang terakhir."

"Saya tidak membolos... Hanya... ... "

"Hanya?"

Hail terlihat ragu. Dia membulatkan matanya pada guru sejenak sebelum menghela nafas, berkata bahwa itu bukan apa-apa.

Hail, sebagai Putra Mahkota, konon sering datang ke sini untuk berlatih pedang bahkan sebelum mendaftar. Sepertinya dia sering membolos kelas, melihat dia yang bahkan tidak bisa membalas perkataan Guru.

Hail tidak bisa membantah lagi seolah bibirnya ada banyak bintik-bintik (tidak bisa berkata lagi). Mata merahnya menatapku dengan kesal. Aku menghindari tatapannya dengan menutupi rambutku dengan handuk sebanyak mungkin.

"Bukankah Yang Mulia Hailey pandai mengajar orang lain? Aku memintamu untuk membantu hanya sampai siswa Schreina ini bisa melakukan duel."

Hailey sepertinya dekat dengan guru pedang. Atau tidak? Dia menatapku dari jauh dan mendengus. Dengan guru mengucapkan terima kasih, dia mendekatiku.

Aku Gak Mau Jadi Makcomblang!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang