Minibreak

4.5K 603 27
                                    

"I think I might prefer someone who knows where they are going. I mean a prince pretty much has his whole life planned out already, doesn't he?" — Jillian Dodd


Bangkok, April 2019

Kakiku baru saja menginjakkan kaki di bandara Suvarnabhumi setelah tadi pagi pukul 7 aku terbang dari Jakarta dengan menginfokan Re sejak Kamis siang kalau aku sudah berhasil memesan tiket pesawat dan berniat menanyakan di mana dia menginap karena aku akan memesan hotel di tempat yang sama di mana dia berada dan berujung dengan lelaki itu yang mengurus soal hotelku—tentu saja setelah sedikit berdebat kecil karena aku keberatan jika dia mengeluarkan uang untuk tempat tinggalku di sana.

Aku tidak butuh cuti karena hari ini tanggal merah dan dua hari besok weekend, sudah kupastikan juga kalau tidak ada pekerjaan yang mengharuskan aku datang di Sabtu besok. Berhubung aku sudah mengatakan kepada Ajeng kalau aku akan pergi ke Bangkok kemarin malam dan memintanya tidak membicarakan soal Re kepada Nana agar aku bisa lebih tenang menjalani liburanku di sini tanpa pertanyaan-pertanyaan beliau yang pasti akan muncul berentetan, Ajeng agreed with that condition dengan syarat aku harus selalu mengaktifkan ponselku kalau-kalau ada apa-apa yang genting padaku di sini atau mereka di sana, dan itu bukanlah hal yang sulit.

Hanya Ajeng yang tahu-menahu soal aku yang terbang pagi ini ke kota dengan nama terpanjang sedunia ini—Should I tell you here? Well, just Googling by yourself, I can't even remember. Mungkin ini akan terlihat impulsif sekali, kemarin saat break lunch aku membuka salah satu web pencarian tiket pesawat dan tanganku dengan lancar klik-klik sana-sini sampai akhirnya sebuah e-tiket penerbangan tiba di laman inbox mail-ku dan setelahnya aku baru dilanda kesadaran utuh—even Re isn't near me but his 'hypnotic effect' is still exposed to me.

Seselesainya urusan imigrasi dan mengambil bagasiku, aku menyalakan pocket wifi untuk menyambungkan internet pada ponselku, kucari tempat untuk sebentar duduk dan mencoba menghubungi Re yang berjanji akan menjemputku di sini. Ponselku baru menempel di telinga setelah dering pertama tersambung ke nomor ponsel Re, suaranya langsung terdengar di seberang sana.

"Hei!" Sapanya di sana.

"Hei! I just got here," infoku sembari melihat orang lalu lalang dengan wajah letih sambil menggeret koper mereka dengan lesu dan beberapa orang berkebalikannya, berlalu lalang dengan wajah mereka yang berseri.

"Oh, wait. I'm walking," jawab Re. "Aku parkir di luar, untung belum terlalu ramai jadi nggak harus parkir di gedung," celotehnya.

"Bawa mobil siapa?" tanyaku penasaran. Re bilang dia memang ada urusan pekerjaan di sini, hanya saja Gameart tidak punya kantor di Bangkok, dan pasti itu urusan dengan salah satu kliennya dari negara ini. Jadi kemungkinan dia menggunakan mobil kantor—tidak ada.

Ada suara-suara ramai di seberang sana sebelum Re menjawabku. "Have ranted a car upon my arrival," Oh... a good choice, sayangnya aku tidak pernah menyetir di luar negeri. "Oh! Got ya, turn your head to the right, please." Lanjutnya yang membuatku seketika menoleh ke arah kanan dimana ada footway yang sudah ramai orang berlalu-lalang dan menemukan seorang lelaki tinggi berkemeja santai garis-garis vertikal hitam putih dengan sunglasses-nya yang bertengker di pangkal hidungnya. Tangan lelaki itu melambai santai namun satu tangannya lagi tetap menempelkan ponsel pada telinga kirinya, aku diam berdiri menantinya tiba di depanku dengan tersenyum. Sambungan telepon kami belum terputus padahal kami sudah sama-sama saling bertemu, aku hanya tinggal menantinya sampai beberapa langkah lagi di depanku tapi tanganku seolah kaku memegang ponsel untuk tetap menempel pada telingaku.

Tell No Tales | CompletedWhere stories live. Discover now