Enchanted

4K 680 39
                                    



"Sometimes I don't know, which moment which cool gust of wind will come, and enchant me tousling my hair and my heart." — Sanober Khan


Jakarta, April 2019

Karena dua minggu ini aku lagi-lagi dikejar setoran oleh para Direksi dengan setumpuk summary dan daily meeting dari satu tempat ke tempat lain, aku sampai tidak sempat meluangkan waktu untuk memanjakan diri ataupun pergi olah raga. Nana bahkan sampai memprotesku setiap aku berkunjung ke rumah beliau kerjaanku hanya tidur panjang dan makan. Kala saja hampir lembur setiap hari berhubung Pak Andaka sedang stick into his office bahkan sampai di hari Jumat kemarin.

"Rambut lo kenapa?" Suara Gania muncul setelah sambungan video call kami tersambung dan tak lama wajah Ghava ikut muncul pada layar tab-ku. Pagi tadi Gania mengoceh untuk melakukan pangilan video sedangkan aku harus terburu-buru untuk segera pergi ke Slipi karena ada morning meeting di sana. Jadilah siang ini, setelah aku memesan makan siangku untuk dibelikan oleh OB saja dan duduk tenang di ruanganku, kami melakukan panggilan video.

"Kapan ke salon?" kini suara Ghava yang terdengar sampai aku melihat dari layar tabletku kepalanya mendekat ke arah layar. "Nggak suka, ah. Terlalu dewasa jadinya muka lo," komentarnya melihat dengan teliti model rambut baruku.

Aku berdecak kesal mendengar ucapan Ghava barusan. "Ya emang gue udah dewasa, udah tua! Kenapa, sih? Ganti suasana... Rambut gue dari kecil nggak diapa-apain." Cetusku ikut mengomel.

"Bukan dewasa itu maksudnya. Ya, gitu deh, you know lah maksud gue," lanjut lelaki itu.

Tidak, aku tidak tahu sama sekali maksudnya. Ish!

Well, let me tell you about my hair. Ehm, jadi setelah malam itu—ya... malam yang aku habiskan dengan lelaki bernama Tarendra a.k.a Re—as we all already know, dan dia mengatakan kalau dia senang melihat rambut bergelombangku, aku memberanikan diri untuk mengubah gaya rambutku yang begitu-begitu saja sejak dulu—hanya jika aku tidak membuat berbagai percobaan dengan catokan rambutku sendiri. Sejak sekolah, rambutku ya hitam lurus saja, paling panjang yang pernah bisa aku miliki hanya sepundak dan sisanya sampai aku berumur sekarang aku potong pendek bob lurus tanpa poni dengan rutin. Dan setelah malam itu, aku berpikir untuk mengubah gaya rambutku saja, toh aku perlu suasana baru dengan wajahku diusia 30-an ini. Rambut pendek hitamku aku buat bergelombang dengan tekstur messy dan longgar, terlihat berisi dan kutambahkan poni lurus tipis yang menutupi keningku yang seumur-umur tidak pernah pakai poni.

Berhubung minggu-minggu kemarin aku tidak bisa bertandang ke salon langgananku yang biasanya aku kunjungi bersama Kala, baru kemarin tepat di hari Minggu setelah aku pulang dari rumah Nana, aku mengubah tatanan rambutku ini ke salah satu salon di PI. Jadi Nana dan Ajeng pun belum melihat penampilan baruku hari ini, bahkan Kala dan juga Re—Sang sumber pemberi ide. Selain security gedung, orang-orang di workshop Slipi dan beberapa anak Hygen, Ghava dan Gania masih menjadi orang-orang awal yang tahu kalau aku mengubah tampilanku. So far, baru Ghava saja yang tidak menyukainya, lainnya memuji wajahku yang lebih ceria, persis kata Re waktu lalu.

"Cantik kok, you look more sexy—itu maksud Ghava." Kalimat Gania membuatku menyipitkan kedua mataku. Sexy? Oh, ya?

"Itu lagi poni." Keluhan Ghava masih berlanjut. "Yang biasa aja sih, Gem."

"Bosan kali, biarin lah. Sekali-kali gue sexy, biar nggak disebut kayak Snow White mulu, ganti image." Salah satu pertimbanganku juga, aku bahkan berpikiran untuk mewarnai rambutku juga agar tidak melulu hitam—tapi tidak dengan warna-warna yang chic, mungkin seperti milik Kala, coklat kemerahan.

Tell No Tales | CompletedWhere stories live. Discover now