Days Of Yore

4.9K 768 60
                                    


"It's a fact—everyone is ignorant in some way or another. Ignorance is our deepest secret." — Vera Nazarian



Jakarta, Desember 2018

Mobilku sudah terparkir di sebuah carport luas setelah melewati gerbang besar berwarna putih di depan sana. Di depan mobilku sudah berbaris dua mobil SUV, Tucson hitam dan Jeep Compass dengan warna yang sama, juga ada satu mobil MPV lagi di dalam garasi yang terbuka pintunya. Sejak Nana mengatakan untuk berhenti dan membelokkan mobil ke dalam sini setelah seorang pria membukakan pintu gerbang besar di depan sana, aku sudah terpana melihat rumah megah di depanku ini. Rumah dengan cat berwarna sama dengan pagar besar nan kokoh di depan sana, terlihat memiliki dua lantai, teras di depan pintu masuk berdiri dua pilar yang seolah menyangga kanopi berjarak satu meter di depannya, ada lampu gantung dengan kerangka setengah lingkaran sebagai dekorasi plafon di depan pintu, berdiri patung angsa besar dan kecil di pojok kanan teras pintu masuk.

Nana dan Ajeng sudah turun lebih dulu ketika aku memilih untuk sedikit membenahi dandananku karena sepertinya orang yang akan aku temui ini bukan orang sembarangan, okay let say I judge them from their house, even I just saw the outside of their house. Kembali memulas lipstik nude hadiah dari Gania ketika kami bertemu beberapa waktu lalu di Singapore, untuk memastikan setelah makan nanti warna lipstik-ku tidak memudar. Ujung mataku melirik ke arah Ajeng yang sedang berdiri menghadap mobilku, sementara Nana sudah berjalan menuju pintu masuk rumah.

Dengan cepat aku melempar lipstik-ku ke dalam clutch hitam dengan motif kepala singa di tengahnya dan membawanya turun bersamaku. Dengan berlari kecil sambil membenahi dress coklat muda yang aku kenakan khawatir ada serpihan yang mengotorinya, aku menyusul langkah Ajeng yang juga sudah berjalan menyusul Nana setelah menuruni mobil merahku. Aku melalui jalan setapak untuk bisa sampai di depan pintu masuk, rumah ini memiliki banyak sekali tanaman, beberapa pot bunga yang belum berkembang dan rumput yang sudah terpotong rapi mengelilingi jalan setapak yang dibuat dengan paving, sementara jalan setapak menuju halaman di sisi kanan rumah bisa aku lihat terbuat dari kayu yang disekelilingnya ditaburi banyak kerikil halus.

Nana sudah menekan bell yang ada di dinding kanan pintu. Kalau aku lihat dari depan sampai di teras ini, sepertinya sang pemilik rumah benar-benar menggemari warna putih karena selain warna-warna tanaman ini, semua berwarna putih sampai pintu di depanku dan juga pintu garasi yang terlipat tadi, jangan lupakan dua patung angsa di pojok sana.

Pintu di depan kami terbuka dan suara girang menyambut kami yang sudah berdiri dengan senyuman. "Akhirnya, kita bertemu lagi Wasista," seorang wanita tua yang sekiranya memiliki usia yang tak jauh berbeda dari Nana menyambut kami, lebih tepatnya menyambut Nana dengan ceria bahkan ditambah dengan pelukan hangat beliau. Rambut putihnya tercepol dengan rapi dan ada bunga melati disematkan di dekat cepolannyasepertinya itu bunga asli, baju terusan berwarna biru dongker membungkus rapi tubuhnya yang cukup tinggi karena Nana terlihat hanya sepundak beliau saja.

"Mbak Salwa, apa kabarnya?" Nana saling menggenggam tangan dengan wanita tua bernama Salwa itu. Jujur saja aku belum pernah bertemu dengan beliau sebelumnya serta namanya juga wajahnya terasa asing.

Mata wanita yang berdiri di ambang pintu itu menuju ke arah Ajeng yang berdiri tegap dengan gesture sopan sekali, seperti Ajeng yang dulu selalu aku lihat di kantor Yangki. "Ajeng, ya? Kamu masih ikut Wasista?" tangan kirinya terlepas dari genggaman Nana dan membelai lembut sisi kanan kepala Ajeng, terlihat sekali mereka saling mengenal.

Tell No Tales | CompletedKde žijí příběhy. Začni objevovat