Lunch Banquet

5K 740 65
                                    


"People are almost always better than their neighbors think they are."— Eliot


Jakarta, Januari 2019


Happy new year!

Ucapan seperti itu sudah aku dapati sejak semalam di malam pergantian tahun, sampai pagi ini ketika aku mendorong troli belanjaanku di Ranch Market setelah tadi selesai sarapan dan sebentar bersantai bersama Ajeng dan Nana di ruang televisi, aku memilih untuk kembali ke apartemen secara aku punya a new year luncheon with my new next-door, tapi mengingat sebelum ke rumah Nana untuk menghabiskan malam tahun baru dengan membuat kue-kue kering lidah kucing sampai pukul 2 pagi tadi—yang tentu saja hanya tersisa aku dan Ajeng yang mengerjakannya sementara Nana istirahat, aku sempat mengecek kulkasku yang mulai kosong.

Tadi pagi sebelum kami menyiapkan sarapan, aku sudah merusuhi Ajeng untuk menuliskan list belanjaanku yang dikerjakannya dengan terburu karena dia harus menyiapkan sarapan bersama Nana yang sudah mulai mengoprek dapur sendiri. Kupikir lebih baik aku memutari Semanggi sedikit untuk mampir ke GI dan membeli ini semua sebelum kembali ke apartemen dan makan siang di tempat Yaya. Dan sekarang aku sedang mengitari rak buah-buahan setelah tadi aku mengambil banyak sekali jenis makanan, minuman, sayuran, telur, segala jenis kecap dan saus, minyak, coklat, ice cream dan tersisa buah-buahan dan juga roti.

Satu per satu list di dalam smart phone milikku sudah terceklis, tertulis buah plum, strawberry, apel dan pisang di dalam list yang aku salin dari catatan yang ditulis Ajeng tadi pagi ke dalam memo di ponselku. Tanganku sedang memilah buah plum dalam kemasan sembari sesekali membaca pesan-pesan yang berdatangan di notifikasi aplikasi perpesananku. Semua orang terlihat semangat sekali menyambut tahun baru ini, terlebih tim-ku yang juga sudah memasang emotikon bahagia di setiap pesan yang mereka kirim kepadaku berhubung dalam seminggu kedepan bonus kami akan cair, senang membuat mereka sesemangat itu bekerja walaupun aku beberapa kali harus merasakan hampir 'gagal' dalam membentuk mereka menjadi setangguh sekarang-sekarang ini.

Masih asyik membaca pesan-pesan yang datang untukku dan mencoba membalas itu satu per satu dengan berhenti sejenak di depan rak buah-buahan, panggilan masuk dari Gania datang dengan memunculkan foto wajahnya dengan pulasan make-up.

"Happy new year!" serunya setelah aku menempelkan ponselku di telinga.

Kakiku kembali melangkah untuk memilah buah dengan wajah tersenyum. "Happy new year!" balasku ceria. "Semalam lihat fireworks di mana?" Aku teringat tadi pagi aku mengecek Instagramku dan menonton pertunjukan kembang api dari video yang posting oleh Gania.

"Di rooftop Fullerton Bay. Keren, ya?" jawabnya dengan semangat.

"Wicked cool, and who do you go therewith?" tanyaku bernada jahil.

Gania tertawa kecil terkesan malu-malu mendengar pertanyaanku. "With a guy, a good guy." Sudah kuduga, mungkin dia sedang dekat dengan seseorang di sana. Karena beberapa kali aku sempat melihatnya pergi makan malam tanpa memperlihatkan dengan siapa dia pergi.

"A Singaporeans?" tanyaku, lebih tepatnya mencoba menebak. Beberapa kali Gania berkencan selama menetap di Singapore sana, belum pernah dia mengatakan kalau kekasihnya adalah orang luar Indonesia.

"Nope, he's Indo. Nggak ada yang doyan sama gue orang Singapore," tukasnya yang seketika membuatku cekikikan.

Untuk tipikal Gania yang pemilihsoal pasangan, baginya dia akan lebih bisa berkomunikasi dengan baik secara mental dengan para lelaki dari negara yang sama dengannya. Padahal punya pengalaman menjalin kasih dengan lawan jenis dari negara lain saja tidak pernah, kupikir karena dirinya terlalu lama berkomunikasi dan bersosialisasi dengan mereka-mereka di sana dan membuatnya bisa langsung membandingkan.

Tell No Tales | CompletedWhere stories live. Discover now