[ Castle's Monarch ]

6.3K 806 11
                                    



"He wants me to be steady like the river, but it's not steady at all." Pocahontas


(2nd flashback flies)


Jakarta, Juni 2005

"That's okay, yang namanya rezeki itu pasti datang dan pergi. Uang bisa dicari, lagian aku sama Papa masih usaha kok biar Hotel tetap jalan."

Tadi pagi sebelum keluar dari kamar tidurku, aku mendengar percakapan Papa dan Mama di koridor rumah kami. Dari nada suaranya, Mama terdengar sedikit khawatir sedangkan Papa tetap sebagai Papa yang handal menenangkan siapapun yang memiliki kegelisahan. Aku tidak tahu pasti apakah ada masalah dengan keuangan orang tuaku? Sampai Papa berbicara hal seperti itu dengan Mama tadi pagi?

Aku, Gemima Sada Danuardara, anak satu-satunya dari keluarga yang... apa aku harus menyebutnya? Kami bukan keluarga yang benar-benar kaya raya seperti teman-temanku di sekolah. Papaku dan Kakek membangun sebuah Hotel di daerah Cilandak, memang bukan hotel besar dan mewah hanya sebuah city hotel berbintang tiga yang seringnya dikunjungi oleh para pebisnis dari luar kota. Dan akan memulai bisnis baru mereka dengan mendirikan sebuah Mall di daerah Serpong BSD sana bersama beberapa kolega mereka. Okay, mungkin saja itu terlihat tidak sedikit, dan aku sangat amat mensyukuri apa yang aku dan keluargaku miliki. Tapi jika dibandingkan dengan apa-apa yang dimiliki teman-temanku di sekolah, itu benar-benar tidak ada apa-apanya, aku masih jauh di bawah mereka dan termasuk ke dalam anak remaja beruntung untuk bisa bersekolah di sekolah itu dengan biaya yang tidak sedikit. Walaupun aku sangat tahu membandingkan apa yang aku miliki dengan mereka adalah suatu hal yang lebih buruk dan tidak berguna sama sekali.

"Kenapa bengong, Gem?" Aku mengedipkan kedua mataku ketika mendengar suara Papa di sampingku. Sempat melupakan kalau kini aku sedang diantar oleh Papa untuk berangkat ke sekolah.

Menoleh ke arah Papa setelah mendapati kesadaran dari lamunanku, aku menggeleng kecil yang menimbulkan kerutan di dahi Papa.

"Ada ujian harian? Kamu belum belajar, ya?" tanya beliau lagi.

Aku memang baru saja naik kelas ke tingkat dua dan sedang menikmati masa-masa transisiku dengan pelajaran-pelajar baru, juga teman-teman kelas yang baru, walaupun ini sudah berjalan lebih dari sebulan dan aku belum mendapati teman akrab dan masih saja menempel bersama Gania dan juga Ghava, namun aku tetap menikmati pelajaran-pelajaran selama tidak ada yang menggangguku.

"Nggak ada, Pa," jawabku singkat. Memang kerap kali setiap habis menyelesaikan satu Bab mata pelajaran, beberapa guru akan memberikan sedikit tes dadakan, namun sepertinya hari ini tidak akan ada karena Bab yang baru baru dimulai minggu lalu.

Papa menoleh sebentar untuk memastikan jawabanku, tangan kirinya menggapai belakang kepalaku dan membuat belaian lembut di sana. Hal yang paling-paling aku sukai dari Papa selain pelukannya adalah belaian lembut beliau di belakang kepalaku. "Kamu jangan suka bengong-bengong gitu, dong. Masih muda kok kayak banyak pikiran, kamu itu tugasnya belajar aja yang benar, biar yang banyak pikiran Papa aja," nada jenaka beliau membuatku mendengus geli, ditambah gerakan alis kirinya yang naik turun juga senyuman jahil menghiasi wajah beliau.

Aku harap aku tidak memikirkannya, tidak bisa memikirkannya, tidak mau memikirkan apa yang aku dengar tadi pagi. Namun sudah kepalang terlanjur aku mendengarnya dan sudah pasti sebagai anak satu-satunya, aku merasa terbebani. Jika dilihat pengeluaran terbesar yang dikeluarkan orang tuaku, bukan untuk hal-hal mewah, namun untuk pendidikanku. Mereka mengirimku sekolah di salah satu sekolah internasional terbaik di Jakarta, membiarkan aku mengambil kursus Bahasa Inggris eksklusif, ikut bimbingan belajar tambahan di sekolah, belum lagi Papa menawarkanku untuk ikut kelas kursus musik seperti memainkan piano atau biola. Sedangkan rumahku bukan tipe-tipe rumah megah seperti milik Gania atau Ghava di kompleks perumahan elit, rumahku memang besar tapi itu bukan tipe yang megah dan mewah dan hanya di komplek perumahan biasa, Papa memiliki satu mobil dan lainnya adalah milik Mama, mobil mereka berdua juga bukanlah mobil bernilai milyaran, Mamaku juga tidak banyak memiliki barang branded, beliau lebih suka membeli perhiasan yang bahkan tidak sering digunakan, hanya untuk disimpan. Jika dipikirkan ulang, Papa dan Mama bisa saja membuang uang mereka untuk hal-hal mewah jika aku tidak mengeluarkan banyak biaya untuk pendidikanku.

Tell No Tales | CompletedWhere stories live. Discover now