[ Inaugural Meeting ]

8.1K 948 12
                                    

[ This story has several flashbacks parts ]


"The only thing predictable about life is its unpredictability." Ratatouille


(1st flashback flies)

Jakarta, April 2004.

Dengan ragu-ragu aku memasuki kelas yang cukup ramai karena siswa-siswi di dalamnya sedang asyik mengobrol dan tertawa. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah seminggu kemarin kami melaksanakan MOS sesudahnya dinyatakan lulus untuk bisa sekolah di sekolah swasta bertaraf Internasional yang ada di daerah Kemang ini. Aku memang mengikuti hari-hari awal MOS sekolah dan memutuskan untuk tidak melanjutkannya di hari keempat dan kelima karena aku memilih untuk ikut tes agar bisa mengambil kelas kursus Bahasa Inggris yang kebetulan di hari Kamis dan Jumat adalah hari ujiannya, dengan membawa alasan berupa surat izin sakit yang dikirim oleh Papa ke sekolah akhirnya aku terbebaskan dari sisa dua hari MOS sekolah.

Tiga hari mengikuti kegiatan-kegiatan MOS bagiku sudah cukup, aku sudah cukup mengenal setiap sudut sekolah, semua kegiatan yang ada di sini, jam belajar, ekstrakulikuler, kelas tambahan, OSIS, olah raga, visi-misi bahkan lagu-lagu sekolah yang sudah aku baca di dalam buku panduan, semua sudah lengkap dan jelas menurutku. Tiga hari itu aku juga melakukan hal-halnya sendiri di sini, aku belum bertemu teman-teman yang bisa aku ajak mengakrabkan diri. Jadi aku juga sedikit linglung ketika melangkah masuk ke dalam kelas yang seharusnya memang mulai menjadi kelasku mulai sekarang untuk satu tahun ke depan.

Kakiku yang terbungkus sepatu putih polos Nike Air Force 1 sedikit demi sedikit melangkah menuju kursi kosong. Kelas ini hanya berisi lima baris meja ke samping dan empat baris meja ke belakang, jadi total semuanya hanya ada 20 meja. Dan aku melihat baris kedua dari dekat pintu masuk baru terisi di meja paling depan saja, sisanya masih kosong. Aku masih berjalan mendekati salah satu dari ketiga meja kosong itu untuk kujadikan mejaku setahun kedepan ketika seorang anak lelaki menyalip langkahku dan memilih kursi paling belakang untuk didudukinya.

Kakiku terhenti seketika setelah lelaki itu duduk dan mencantolkan tasnya di kaitan yang tersedia di samping meja. Matanya menatapku ketika aku masih mengamatinya yang mulai mengeluarkan beberapa buku untuk di letakkan di atas meja dan beberapa di masukkan ke dalam kolong mejanya.

"Lo mau duduk di sini?" tanyanya dengan sopan.

Aku menggelengkan kepala dan memilih bangku kosong di depannya, sepertinya di sini lebih baik. Bagiku duduk di depan, belakang atau di tengah tidak akan mempengaruhi nilai-nilaiku jika aku memang rajin belajar di sekolah dan di rumah. Mataku menyebar memandang sekeliling kelas yang mana mereka masih sibuk mengobrol satu dengan yang lainnya tanpa mengindahkan keberadaanku yang sejak masuk ke sini seperti orang linglung. Mereka bermain, becanda atau tertawa dengan teman di meja samping, depan atau belakang mereka.

"Pasti lo nggak ikut MOS juga, ya?" sebuah punggung pensil menyentuh punggungku beberapa kali bersamaan dengan suara bertanya itu. Aku segera menoleh ketika sadar bahwa akulah yang di ajaknya berbicara.

"Gue ikut tiga hari," jawabku menyangkal tebakkannya. "Lo nggak ikut MOS?" ganti aku yang bertanya kepada lelaki itu karena pertanyaannya lebih menjurus ke pernyataan bahwa dia tidak mengikuti kegiatan MOS seminggu kemarin.

"Nggak, gue baru balik hari Minggu kemarin dari Perth," jawabannya membuatku mengernyit. Apa anak lelaki ini baru saja pindah ke Jakarta?

Tell No Tales | CompletedWhere stories live. Discover now