22. Kenyataan apa ini?

15 3 0
                                    

Happy reading!

•••••

Cakra ada di depan matanya sekarang?

Tea tak percaya, bisa-bisanya laki-laki itu berdiri di depannya dengan menampakkan senyum canggung. Bagaimana bisa Cakra tahu Tea ada di sini?

Tea teringat, kabar terakhir yang dia dapat, Cakra sudah tak ada hubungan lagi dengan Bella. Tea tahu semua itu dari Chandra. Ya, laki-laki itu 5 bulan lalu tiba-tiba saja meneleponnya dengan nada ketus seperti biasa. Chandra hanya menanyakan hubungannya yang kandas sambil beberapa kali memaki Cakra.

Tea menunduk, dia menggigit bibir bawahnya gugup. Demi apapun Cakra tampan sekali. Walaupun terlihat berantakan—tidak seperti biasanya, Cakra tetap menawan, ditambah dengan kumis tipis yang mulai muncul. Sepertinya Cakra belum bercukur.

Mendengar kursi di depannya berderit, jantung Tea semakin berdegup kencang. Refleks tangannya menyambar gelas berisi milkshake stroberi—meneguknya hingga tandas tak bersisa.

Tea menaruh gelasnya dengan kasar—membuat beberapa pengunjung kafe menengok ke arahnya. Merasa semakin di perhatikan Cakra, Tea mengobrak-abrik tasnya, mencari sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya saat ini.

Yasalaam, harusnya tadi habis ketemu klien langsung pulang aja, bukan malah nongkrong sambil bengong di sini, batin Tea menggerutu.

Cakra terus memperhatikan Tea, laki-laki itu tidak paham apa yang di lakukan Tea saat ini. "Karen," panggilnya pelan.

Tak ada sahutan, perempuan itu masih sibuk dengan kegiatannya. "Karen!" panggil Cakra sedikit keras hingga membuat Tea tersentak.

"H-ha?"

"Saya lihat daritadi kamu bengong setelah ketemu klien. Kamu nggak pulang?" tanya Cakra penasaran.

Cakra menggaruk kepalanya—merasa canggung dengan situasi ini. Padahal awal pertemuan mereka yang tak saling mengenal saja tak secanggung ini. Ya, salahnya juga situasi ini terjadi.

"Pulang? Ok, oke, aku pergi dulu."

Cakra membelalakkan matanya lantas menarik lengan Tea untuk kembali duduk. "Siapa yang suruh kamu pulang? Aku cuma tanya, Ren," jelas Cakra.

"Saya minta maaf," ucap Cakra setelah mereka diliputi keheningan.

Tea menatap Cakra datar walaupun tangannya di bawah meja saling bertaut gugup. Tea pikir perasaannya pada Cakra sudah hilang, nyatanya rasa itu masih sama. Degup jantungnya, gugupnya, dan segala hal tentang mereka dulu tak bisa dia lupakan begitu saja.

"Saya nggak tahu lagi harus bicara apa selain kata maaf. Mungkin kamu udah kebal sama kata maaf dari mulut saya. Tapi saya benar-benar minta maaf, saya keterlaluan. Maaf saya nyakitin kamu, maaf saya terlambat untuk meminta maaf," sambung Cakra menatap Tea sayu.

Cakra membutuhkan nyali yang banyak untuk melakukan ini. Berbagai rencana dia susun untuk meminta maaf pada Tea, sayangnya rencana hanya sebuah rencana. Cakra ciut—tak berani menghadapi Tea. Dan pertemuan tidak sengaja ini yang membuat Cakra nekat—persetan dengan risiko yang dia hadapi nanti.

"Karen, jawab saya. Saya nggak tahu harus bagaimana."

Aku itu gugup, Mas. Dasar laki. batin Tea menggerutu.

"Aku ...."

Ucapan Tea terpotong karena teleponnya di atas meja berdering nyaring. Tertera nama Indra di layarnya membuat Cakra tanpa sadar mengepalkan tangan erat.

"Assalamu'alaikum, Mas! Ada apa?"

Cakra menahan denyutan di dadanya. Dulu, Tea menyapanya seperti itu saat Tea masih miliknya. Sedangkan  sekarang, Tea bukan lagi miliknya, dan sapaan itu bukan lagi ditunjukkan untuknya.

More and More [Segera Terbit]Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα