9. Indra dan Mario

16 2 0
                                    

Happy reading 😙
Tolong tandai tipo.
Mohon maaf bila ada kesalahan nama dan tempat atas unsur ketidaksengajaan.

Jam 10 pagi, di salah satu kafe di dekat rumah, Cakra mengajak Tea bertemu. Awalnya mereka terlibat perdebatan panjang di telepon. Tea kekeh tidak ingin menemui Cakra, alasannya karena perempuan itu masih merasa kesal dengan Cakra. Setelah perdebatan panjang itu, akhirnya Cakra berhasil membujuk Tea bertemu. Dan sekarang Tea duduk di depan Cakra dengan wajah tertekuk.

Cakra menyeruput kopi hitam favoritnya. Menikmati sensasi rasa pahit dalam kopi di mulutnya. "Ren, saya mau jelasin masalah kemarin," ujar Cakra setelah meletakkan kopinya. Tea terlihat tak acuh, dia tetap memakan kentang gorengnya dengan santai.

"Karen, bisa dengarkan saya dulu?" tegas Cakra.

Tea membanting kentang goreng yang baru saja mau masuk ke dalam mulutnya. "Ck, aku kesal sama Mas. Memangnya siapa yang ngizinin Mas datang ke rumahku dan ketemu sama Ayah, Bunda? Apalagi Mas nggak ngabarin aku dulu. Mas mau apa sebenarnya? Memangnya tindakan Mas benar gitu?" berondong Tea. Napasnya terengah-engah karenanya.

"Iya, saya ngaku salah, maaf. Maaf saya lancang datang ke rumah kamu tanpa mengabari kamu dulu, saya paham perasaan kamu. Tapi Ren, saya nggak ada maksud apa-apa datang ke rumah kamu. Saya cuma mau menjalin silaturahmi...."

"Tapi kenapa nggak bilang aku dulu?" sela Tea kesal. Matanya menyorot tajam Cakra.

"Saya yakin kamu nggak akan pernah ngizinin saya ketemu orang tua kamu. Gini, kamu bilang mau jalan-jalan lagi sama saya. Tapi, saya nggak mau kalau kamu bohong terus sama orang tuamu. Saya nggak tenang ajak anak orang pergi apalagi mereka belum kenal saya," jelas Cakra.

Tatapan Tea melunak. Tea mulai menyandarkan punggungnya, tangannya bersedekap di depan dada. Perempuan itu membenarkan ucapan Cakra. Tidak mungkin dirinya terus berbohong dan mengelak. "Ya, Mas benar. Aku nggak mungkin bohong terus sama Ayah dan Bunda." Tea menunduk, memainkan jemarinya di atas pangkuan. "Maaf aku udah marah-marah, maaf juga aku kemarin ngusir Mas dari rumah. Udah kayak bocah aja kelakuanku, padahal udah mau seperempat abad," gumam Tea.

Cakra tersenyum, tangannya terulur, mengusap rambut Tea. "Kamu...." Ucapan Cakra terputus, dering ponselnya berbunyi nyaring membuat Cakra harus segera mengangkatnya.

"Assalamu'alaikum, Ndra? Kenapa?" tanya Cakra saat panggilannya terhubung. Mata Cakra mengamati gerak-gerik Tea di depannya, perempuan itu terlihat salah tingkah menyadari tatapan Cakra. Cakra merasa gemas.

"Wa'alaikumsalam! Dimana? Sama siapa?" tanya Indra—sahabat Cakra dengan beruntun.

"Kafe dekat rumah. Kepo. Udah, gue matiin aja. Assalamu'alaikum!" Cakra memutuskan sambungan telepon, mengabaikan Indra yang dia yakini tengah mengumpat. Cakra memang berbicara gue-lo dengan Indra, pasalnya Indra merasa geli saat menggunakan aku-kamu dengan Cakra.

"Om Akla!"

Cakra mengedipkan matanya beberapa kali. Dia sangat hafal suara dan panggilan itu. Suara cadel batita berusia 2 tahun yang tak lain adalah anak sahabatnya—Indra membuat Cakra memutar kepalanya cepat. Mulutnya menganga setengah. "Ngapain kesini?" sewot Cakra.

Indra—Duren Mateng alias duda keren mapan dan ganteng itu mendekati tempat duduk Tea dan Cakra dengan anaknya yang bernama Mario di gendongannya. Indra menyerahkan Mario yang meronta ingin berpindah pada pangkuan Cakra. "Suka-suka gue. Hai, Cantik!" Indra berkedip genit pada Tea hingga membuat perempuan itu merasa risi.

Ingin rasanya Cakra memukul kepala Indra, sayangnya di pangkuannya ada anak kecil, tidak baik kalau sampai di tiru. "Nggak usah dengerin dia, Ren. Nggak waras orangnya," jelas Cakra. Tea yang tak mengerti apa-apa cuma mengangguk patuh.

More and More [Segera Terbit]Where stories live. Discover now