5. Campur aduk

29 5 0
                                    

Happy reading!😙
Mohon maaf bila ada kesamaan atau kesalahan nama dan tempat.
Tolong bantu koreksi ya😊

Sepanjang perjalanannya menuju rumah, Tea terus melamun. Pikirannya dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Entah tentang Bunda-nya ataupun tentang Cakra.

Perasaannya tidak karuan. Berkali-kali dirinya memaki kebodohannya kemarin dan mengakibatkan dirinya memiliki hubungan dengan laki-laki asing—Cakra. Bagaimana reaksi orang tuanya nanti? Ah, Tea tidak bisa membayangkan.

Setelah membayar uang untuk driver grab. Tea beranjak memasuki halaman rumahnya. Netranya menatap bangunan yang telah menjadi saksi dia besar dan tumbuh dari kecil. Seminggu tak bersua secara langsung membuat Tea merasakan rindu. Rindu bermanja dengan Ayah-nya, dan rindu dengan omelan Bunda-nya.

Tea menghirup udara dalam-dalam sebelum melangkahkan kakinya ke teras rumah. Tangannya terulur, mengetok pintu kayu berwarna coklat itu. "Assalamu'alaikum!" Sayup-sayup Tea mendengar sahutan dari dalam rumah. Bisa dia yakini bahwa sang Bunda lah yang menjawab salamnya.

"Bundaaa!" Tubuh Tea langsung menubruk wanita berusia 47 tahun itu. Tangannya mendekap erat badan itu, melepas rindu yang telah ditahannya selama seminggu. "Kangen," rengeknya manja.

Tak urung Santi ikut membalas pelukan putrinya. Walaupun Tea selalu membuatnya naik darah, tapi rasa sayangnya tidak pernah berkurang sedikit
pun. "Manja banget," sindir Santi. "Ayo masuk dulu. Kamu kenapa nggak ngabarin Bunda kalau mau pulang? Biar dijemput Bapakmu itu ke stasiun." Santi menggiring Tea masuk ke dalam rumah.

Tea meletakkan tas dan beberapa kantong kresek di lantai. Dia langsung merebahkan badannya dengan nyaman di sofa ruang tengah setelah sebelumnya mencuci tangan dan kaki. "Nggak papa. Emangnya Ayah ada di rumah ya?" herannya.

Santi mengambil remot televisi di dekatnya. Setelahnya wanita itu membongkar belanjaan Tea. "Iya. Itu ada di halaman belakang, lagi main sama burung-burungnya."

"Siapa yang cari Ayah?"

Seketika Tea bangun dari sofa. Badannya langsung menempel pada Mulya yang sudah duduk di sebelah kakinya. "Ayah gimana kabarnya?" tanya Tea.

"Giliran Bapaknya aja di tanyain kabar," cibir Santi. Matanya melirik sinis Tea yang terlihat tidak peduli.

"Alhamdulillah, baik. Adek seminggu di Jogja gimana kabarnya?"

Berbeda dengan Santi yang memanggil Tea menjadi Yaya. Mulya lebih suka memanggil anaknya itu dengan panggilan 'Adek'. Kadang Tea malu sendiri karena merasa jadi anak kecil terus, tapi panggilan itulah yang membuat dirinya selalu merasa rindu suasana rumah.

"Alhamdulillah, baik juga 'kok, Yah."

Baik, sebelum Tea jadian sama Mas Cakra. Lanjutnya dalam hati.

"Gimana? Udah dapat kerjaan?" celetuk Santi membuat Tea meringis.

"Hehe ... Belum, Bun." Tea semakin merapat ke badan Mulya saat Santi melemparkan bantal sofa padanya. Tangannya menghalau lemparan bantal tersebut agar tak terkena wajahnya.

"La terus kowe neng kono nyapo?" geram Santi dengan logat Jawa-nya. Matanya melotot garang membuat Tea mengerucutkan bibir.

Mulya yang melihat pertempuran dua wanita kesayangannya itu hanya bisa tertawa. Rumah yang seminggu belakangan terasa sepi sudah kembali seperti semula. Ramai.

"Cari kerja susah, Bun. Yaya juga udah nyaman sama kerjaan Yaya sekarang ini. Uang Yaya dari jadi beauty vlogger juga lumayan," jelasnya.

"Alasan. Sebenarnya kamu di Jogja itu ngapain aja?"

Tea melepas rengkuhannya pada sang Ayah. Disandarkan punggungnya pada sofa. "Ya-...."

More and More [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang