14. Berbeda

14 3 0
                                    

Happy reading 😙
Tandai tipo!
Mohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan nama tempat dan kesamaan nama tokoh.

•••

Awan mendung yang menggantung di siang hari membuat Tea semakin betah bergelung dalam selimutnya. Sejak pagi menyapa, gerimis terus turun—membasahi bumi. Tak ada sinar matahari yang menyapa. Tea yang biasanya senang dengan suasana mendung seperti ini mendadak kesal. Mereka seolah mengejek dirinya yang tengah dilanda galau.

Tea menutup laptopnya kasar kala tayangan drama yang dilihatnya semakin membuat kepala pusing. Salah Adel yang merekomendasikan drama tersebut padanya. Detektif, pembunuh berantai, teka-teki. Cukup, kepala Tea terasa akan pecah. Memikirkan masalah hidupnya saja belum selesai, ini malah ditambah harus ikut menebak-nebak apa yang akan terjadi dalam drama. Lebih sialnya, setiap dia menebak selalu salah. Seketika dia menjadi darah tinggi.

Tea menyambar ponselnya di samping bantal. Tak ada notifikasi ataupun tanda-tanda kehidupan dari laki-laki yang berhasil memporak-porandakan hatinya saat ini. Diotak-atik layar ponsel itu. Tea hanya melihat roomchat milik Cakra yang sudah bersarang, kemudian kembali lagi ke menu karena tak ada nyali untuk mengirim pesan lebih dulu. Hidupnya terasa hambar karena diabaikan Cakra.

Tea menutup wajahnya dengan bantal. Pikirannya mulai menerawang kembali apa saja yang telah di lakukannya dengan Cakra. Jalan-jalan, ngobrol ngalor-ngidul, saling menemani bekerja. Tea rindu semua tentang Cakra. Memikirkan itu semua semakin membuat Tea kesal. Ditendangnya selimut miliknya sampai terjatuh ke lantai. "Mas Cakra kampret," umpatnya.

Tea mengubah posisinya menjadi tengkurap. Dia kembali mengingat pembicaraan alot tempo hari dengan Cakra. Salahkah dia marah dengan Cakra? Apa dia keterlaluan karena menuntut Cakra untuk memberi kabar padanya? Tea menggeleng, dia rasa tidak salahnya jika seorang pasangan menanyakan kabar dari pasangannya. Namun, mendengar penuturan Cakra yang terlihat sekali menyalahkannya membuat dia semakin bimbang hingga terus merasa bersalah.

Ah, tidak peduli. Di sini posisi yang paling bersalah tetap Cakra, dan dia akan menunggu Cakra untuk meminta maaf padanya. Dia pastikan Cakra tidak tahan mendiamkannya.

Sayang seribu sayang, nyatanya Tea yang tidak tahan untuk tidak menghubungi Cakra. Tak peduli laki-laki itu sedang sibuk atau tidak. Yang terpenting sekarang ini dia harus mendapat kepastian.

"Assalamu'alaikum," sapa Cakra lebih dulu.

Tea mengerutkan dahi bingung. Suara Cakra terdengar sangat berbeda. Mungkinkah Cakra masih marah dengan kejadian 3 hari yang lalu?

Tea mengubah posisinya menjadi duduk. "Wa'alaikumsalam, Mas. Kamu lagi di mana?" Tea memberi jeda sejenak. "Kamu lagi sibuk? Kalau nggak, aku mau ajak kamu ketemuan, sekitar jam 2." Tea menggigit bibirnya—berharap cemas.

"Oke. Di Selat Solo Tenda Biru. Saya mau lanjut kerja dulu. Assalamu'alaikum!"

"Oke, Mas. Wa'alaikumsalam!" jawab Tea lirih. Benar dugaannya, Cakra terlihat berbeda. Buktinya laki-laki itu langsung mematikan sambungan telepon. Sepertinya dirinya memang yang paling salah di sini. Ya, dia harus segera menyelesaikan permasalahan ini.

Tea beranjak dari ranjang. Tidak boleh malas, dirinya harus cepat bersiap untuk bertemu Cakra nanti. Tea memandang isi lemarinya bingung. Pakaian seperti apa yang cocok digunakannya nanti?

Setelah 30 menit hanya menghabiskan waktu dengan memilih baju, akhirnya pilihan Tea jatuh pada wide leg jeans dan kardigan rajut berwarna biru dengan motif kotak-kotak. Setelahnya dia langsung bergegas mandi kilat karena jam sudah mepet. Dia tak ingin membuat Cakra menunggu dan berujung hubungan mereka semakin memburuk. Tidak bisa dibiarkan.

More and More [Segera Terbit]Where stories live. Discover now