2. Sebuah Kesepakatan

54 11 0
                                    

Happy reading!😙

Cakra Aji Pangestu, biasa dipanggil Cakra. Laki-laki berkulit eksotis itu tidak terlihat seperti pria berusia 28 tahun. Celana levis dengan sepatu convers serta jaket boomber yang melapisi kaus hitamnya menambah tingkat ketampanan seorang Cakra.

Cakra berjalan dengan santai, matanya menyusuri berbagai objek yang ada di jalan Malioboro itu.

Malam ini Cakra memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitaran sana. Sekalian membelikan oleh-oleh untuk keluarganya yang ada di Surabaya.

Sebenarnya Cakra berada di Jogja hanya untuk kunjungan rutin ke kos-kosan miliknya, memantau adanya kerusakan atau yang lainnya. Untuk tempat tinggalnya sekarang berada di Solo, di sana dia sendiri, jauh dari keluarga. Cakra memang memutuskan untuk hidup mandiri sedari lulus kuliah.

Pandangan Cakra mengarah pada daster batik dengan corak warna merah dan hitam. Dalam sekali pandang Cakra langsung jatuh hati pada daster itu. Seketika ide muncul dalam benak Cakra, dia akan membelikan Mama-nya daster itu. Dia tidak sabar melihat reaksi antusias sang Mama.

Cakra melangkah mantap, bagaimanapun juga dia harus mendapatkan daster itu. Tangan Cakra terulur—meraih daster incarannya.

Hap!

Bertepatan dengan tangannya, Cakra melihat ada tangan lain yang ikut meraih daster itu. Cakra menajamkan mata, menatap garang wanita di sampingnya.

#

Tea membalas tatapan tajam Cakra—laki-laki asing yang berani mengambil daster incarannya. Dia tidak boleh kalah, dia tidak takut apapun. "Maaf, Mas! Ini dasternya saya duluan loh yang lihat," ujarnya penuh penekanan.

Cakra melebarkan matanya. "Enak aja! Ini saya yang pegang duluan, Mbak. Mbak-nya harus ngalah!" ketus Cakra.

"Tapi, kan, saya yang lihat duluan. Sebagai laki-laki itu harusnya Mas lebih mengalah," jelas Tea. Tangannya menarik dasternya lagi, sayangnya Cakra tidak juga mengalah.

"Saya nggak mau," tolak Cakra. "Seharusnya Mbak yang mengalah, daster ini sudah jadi incaran saya dari tadi. Asal Mbak tahu, daster ini mau saya berikan ke Mama saya," sambungnya.

Tea berkacak pinggang, mengangkat dagunya tinggi—menantang Cakra yang mendebatnya. "Emangnya saya peduli? Mau dikasih ke Ibunya Mas atau ke istri Mas ya terserah. Tapi yang penting, daster ini sudah jadi incaran saya. Mas-nya aja yang tiba-tiba datang terus ngerebut daster ini," ketus Tea. Dia menyugar rambutnya yang diterpa angin dan menutupi sebagian wajah cantiknya.

Sejenak, Cakra terpesona saat memandang wajah cantik Tea. Perempuan itu memiliki wajah cantik yang tidak membosankan.

"Mas!"

Cakra tersentak, dia menatap Tea linglung. "Hah? Apa, Mbak?"

Tea menggeram kesal. "Astaga, Mas. Pokoknya daster itu milik saya!" putusnya telak. Menunjuk daster yang sisi-sisinya mereka cengkram dengan erat.

Perlahan cengkraman Cakra mengendur, merelakan daster incarannya tadi untuk Tea. "Yes! Akhirnya Mas ngalah juga. Gitu dong dari tadi," sindirnya sembari melirik Cakra sinis.

"Tapi dengan satu syarat," sambung Cakra membuat Tea melunturkan senyumnya.

"Loh, kenapa harus pakai syarat? Sama aja Mas nggak ikhlas," cibir Tea. "Emang syaratnya apa? Saya mau memenuhi syarat itu," sambungnya dengan serius. Tangannya mendekap erat daster tadi, jaga-jaga kalau Cakra berubah pikiran dan merebut daster miliknya.

"Yakin?" Cakra menaikkan sebelah alisnya, dia menyeringai membuat Tea sedikit bergidik ngeri.

"Ganteng banget," gumam Tea tanpa sadar. Dia menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran-pikiran ngawur tadi. "Yakin," jawab Tea menantang.

More and More [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang