13. Kembalinya Mantan

18 2 0
                                    

Happy Reading!
Tandai tipo.
Mohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan nama tokoh dan tempat atas unsur ketidaksengajaan.

•••

"Yaya, tolong anterin pesanan kue Budhe Tatik!" teriak Santi.

Tea yang sedang menjemur pakaian di belakang rumah balas berteriak, "Siap, Kanjeng Mami. Tapi tunggu sebentar, anak wadonmu ini lagi jemur pakaian atas perintah Kanjeng Mami tadi."

"Sopan, 'kah begitu?"

Menyadari suara Santi yang berubah, Tea buru-buru menyelesaikan menjemur baju dan langsung melempar keranjang baju itu dengan asal. "Ampun, Bun. Mana sini kuenya? Biar Yaya yang anterin ke Budhe Tatik."

Tea mengambil 4 kotak roti bolu yang telah siap di atas meja makan. Tangannya sempat mencomot kacang goreng yang baru saja di goreng Santi. "Ini udah di bayar atau belum, Bun?" tanya Tea memastikan. Dalam hatinya dia berharap kalau kue tersebut belum dibayar. Kalau belum dibayar, 'kan dia bisa dapat untung.

"Udah. Nggak usah ngarep mau nilap uang Bunda," tukas Santi menghentikan angan-angan indah Tea.

Tea berjalan gontai, rumah Budhe Tatik yang hanya berjarak 10 langkah dari rumahnya berasa menjadi 10 km. Ditambah sandal jepit buluk warna merahnya terlihat mendukung suasana sekali. Melas.

Tea mendesis kesal kala ada dua anak kecil melintas dengan sepedanya masing-masing dan hampir menabrak tubuhnya ketika akan kembali ke rumah. "Dek, kalau naik sepeda itu jangan gandengan. Bahaya," tutur Tea menasehati.

Kedua anak berbeda gender tersebut berhenti, salah satunya membalas ucapan Tea, "Kan kita pacalan, Mbak. Jadi halus gandengan. Emangnya kayak Mbak yang nggak punya pacal?" selanjutnya dua anak tersebut berlalu, meninggalkan Tea dengan rahang yang mengeras.

"Dasar anak zaman sekarang. Bukannya belajar yang benar malah main pacar-pacaran terus," gerutu Tea. "Heh! Ngomong r yang benar dulu baru pacaran!" teriak Tea.

Tea mengembuskan napas kasar. Jangan sampai dirinya terbakar emosi gara-gara anak kecil tadi. Apa bedanya dia dengan anak-anak kalau sampai terpancing?

"Jadi apa generasi muda nanti kalau masih kecil kayak gitu aja udah pacaran? Aduh ... aduh."

"Karen."

Tubuh Tea mematung. Gerakan tangannya membuka pintu rumah pun terhenti. Lehernya mendadak kaku hingga tak bisa menolehkan kepalanya. Telinganya berdengung, mengulang-ngulang suara yang memanggilnya tadi. Tea sangat hafal, suara itu, panggilan itu. Hanya satu yang memanggilnya Karen. Siapa lagi kalau bukan Cakra.

Tea refleks menepis tangan Cakra yang bertengger di bahunya. "Mas Cakra," gumamnya setelah berbalik. "Ngapain kesini?" tanya Tea. Wajahnya datar, menunjukkan rasa kesal pada laki-laki berumur 28 tahun itu.

"Karen, saya ...."

Tea mengangkat sebelah tangannya-meminta Cakra berhenti bicara. "Diam, Mas. Aku ngerti 'kok kamu sibuk. Emm, yaudah, aku mau masuk dulu." Buru-buru Tea berbalik-meninggalkan Cakra yang hanya bisa berdiri dengan diam.

"Tunggu, Ren!" Tahan Cakra mencekal lengan Tea.

"Mas!" desis Tea kesal.

"Yaya! Kamu bicara sama siapa?" teriak Santi dari dalam rumah.

Tea menarik napasnya panjang. "Nggak, Bun."

Menebak kalau akan terjadi perdebatan panjang, Cakra menarik lengan Tea menjauh dari rumah. Memaksa perempuan itu menaiki motornya. "Apa sih, Mas?"

"Ikut saya aja."

"Bun! Yaya keluar sebentar!" pamit Tea dengan berteriak.

Selama perjalanan, Tea memandang punggung tegap Cakra kosong. Mati-matian dirinya menahan diri agar tak menyandarkan kepalanya di punggung Cakra. Gampang sekali laki-laki itu menemui dirinya setelah menghilang selama seminggu. Oke, untuk 2 atau 3 hari dirinya masih bisa memaklumi, tapi ini sudah satu minggu lebih. Hebat sekali Cakra telah membuat dirinya uring-uringan hingga tak fokus bekerja.

More and More [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang