13. Scars

76 9 6
                                    


Haloooooo....

Happy Reading. Have a nice day. 

psst... jangan lupa bintang dan comment nya 




Matahari masih setia menjalankan tugasnya di luar sana. Menghangatkan bumi serta memancarkan cahaya. Mungkin tak semua insan bersedia melambaikan tangan; menyambut matahari dengan senyum lebar yang merekah, tetapi itulah hebatnya matahari. Ia memiliki sinar tersendiri; bukan sebuah pantulan, dan itulah yang menjadikannya terlihat sangat hebat.

Berbeda dengan yang kini berada di dalam kamar apartemen bernomor 905. Cahaya yang masuk dari arah jendela menjadi satu-satunya penerangan bagi mereka. Mendung, suram, gelap, adalah beberapa kata yang mampu menggambarkan suasana di sekeliling mereka. Padahal matahari sangat bersemangat memancarkan panasnya, tetapi yang Taehyung kini rasakan hanya dingin yang sesekali terasa di kulitnya.

Telinga hanya mampu menangkap suara desiran yang dihasilkan mesin pendingin. Menjadi alunan musik yang beriringan dengan banyak suara di dalam kepala. Taehyung menekuk kakinya, memeluk lututnya sendiri kelewat erat, beberapa kali meringis pelan sebab lukanya lagi-lagi tengah diolesi salep.

"Jangan sengaja menekan lukanya."

Wanita yang berada di balik punggungnya, seseorang yang tengah diprotes barusan hanya diam tak bereaksi apapun.

Diam menyelimuti keduanya. Ranum keduanya memang tak terbiasa untuk mengeluarkan obrolan panjang layaknya seorang teman. Mungkin fungsi yang seperti itu bagi mereka telah terhapus sejak lama, atau bahkan memang tak pernah ada. Kendati begitu, terlihat jelas, mereka saling menolong. Sejujurnya Taehyung tidak bisa mengatakan bahwa mereka saling peduli. Karena bagaimana pun keduanya adalah orang asing yang hanya berjumpa dengan alasan masa lalu. Bedanya, yang satu ingin memperbaikki dan yang satu ingin menghancurkan. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa hubungan mereka hanya karena saling membutuhkan.

"Bagaimana rencanamu?" Taehyung akhirnya angkat suara. Memecah keheningan yang menelusup di setiap hembusan napas. Sedikit mengurangi aura mencengkam di tiap sudut ruangan.

"Entahlah. Kau?" Aeyoung selesai dengan satu luka di punggung Taehyung. Beralih mengambil selembar kapas kemudian membasahinya dengan alkohol untuk membersihkan lukanya yang lain terlebih dahulu sebelum mengoleskan salep. Taehyung meringis, merasa dingin dan perih kembali menusuk melewati kulitnya. "Entahlah," jawabnya tak yakin.

Aeyoung yang mendengar jawaban tersebut memelankan gerakan tangannya di kulit Taehyung. Menatap kosong ke arah punggung lebar Taehyung sembari terus berpikir apakah ia bisa menanyakan hal yang barusan terlintas di pikirannya atau tidak. Setelah memutuskan, akhirnya dengan ragu ia bertanya, "Kau sudah bertemu dengan Jimin, 'kan?" Meneguk saliva yang tetiba tertahan. Ada rasa janggal yang terselip pula rasa bersalah tiap dirinya menyebut nama itu. "Bagaimana kabarnya?" lanjutnya bertanya.

"Dia... apa ya? Saat ku bertemu dengannya, dia ternyata jauh lebih tampan dari yang kau ceritakan," Taehyung membalik tubuhnya menghadap Aeyoung. Menatap dengan angkuh, menelisik jauh ke dalam netra cokelat lawan jenis dihadapannya. Sementara yang tengah ditatap hanya merotasikan bola matanya. Sang Pria tersenyum tipis. "Kau menghkawatirkannya?"

Aeyoung menarik napas dalam-dalam sebelum menghembuskannya secara kasar. Netranya yang tadi tampak menjengkelkan di mata Taehyung kini terlihat menyendu. Sedikit pun tak pernah Taehyung lihat ada cahaya di balik netra itu. Setelah lama ia menantikan jawaban dari si lawan bicara, Taehyung kembali melanjutkan, "Kau tidak bisa mengkhawatirkan keadaan seseorang yang telah kau rusak hidupnya." Nada yang terkesan dingin mengalir begitu lancar dari ceruk ranum Taehyung. Menusuk tepat di mana sebuah perasaan bersalah bersemayam selama 7 tahun pada hati Aeyoung.

RED THREADWhere stories live. Discover now