"Tapi kan gue sama Ghava nggak ada ketertarikan secara emosional, kita cuma pure saling menjaga as a good friends." Elakku dengan yakin.

"Mana tau? Ghava nggak pernah bilang, atau lo yang nggak pernah jujur sama diri lo sendiri?"

Haruskan wanita itu memancing hal yang memang tak ada? Ish.

"Don't do a twaddle, gue sih nggak," tekanku sembari menuang sedikit foundation ke punggung tangan kiriku untuk diratakan pada wajahku setelah tabir suryanya sudah benar-benar meresap.

"Okay, anggap lo nggak, tapi Ghava? Lo nggak pernah tanya, dia juga bisa aja nggak pernah ngomong. Buat naksir sama lo untuk sekelas Ghava itu hal gampang sih, Gem." Jujur, baik aku, Gania atau Ghava tidak pernah membahas hal seperti ini bahkan sejak puluhan tahun lalu, we really live up this friendship without remuneration, and I think also without the distraction of some kind of amorous emotional feeling.

"Ya masa lo nggak kenal Ghava udah pulahan tahun temenan? How does he behave when he is attracted to a woman? Sebenarnya perlakuan dia ke gue sama ke lo sama aja, sih. That was his attitude when he cared about us."Tanganku mulai meratakan bintik-bintik foundation yang aku tempel sedikit demi sedikit pada seluruh wajahku dengan brush yang sudah kucuci sedari pagi tadi.

"Nanti kapan-kapan gue interogasi Ghava, gue mau tahu aja reaksinya kayak apa kalau pertanyaan kayak tadi gue lempar ke dia, since lo udah pasti netral dan datar-datar aja, okay gue percaya sama lo." Ya memang harus percaya, dia pikir aku hanya membual?

"Monggoh, Ndoro Ayu..." ucapku dengan halus menggunakan bahasa Jawa.

"Hari ini lo ada rencana ketemu Ghava?"

"Nope, hari ini gue mau long ride therapy ke BSD, mau cari sate Maranggi yang dulu banget pernah kita makan itu," ucapku yang kini sibuk mencari-cari tube mascara dan eyeliner di dalam pounch make-up.

Semalam aku izin kembali ke apartemen setelah menginap satu malam di rumah Nana dan berencana pergi di hari ini, menunggu kerusuhan Kala mendatangiku namun sampai pagi ini wanita itu tak terdengar kabarnya, aku pikir sepertinya dia sedang sibuk dengan beberapa urusannya sampai lupa untuk merusuhi apartemenku di hari Minggu ini, jadilah setelah berpikir panjang, aku memutuskan untuk berkendara sendirian dan mencari makanan enak yang letaknya sedikit jauh. Ghava juga tak mengabariku apa-apa, bahkan untuk mengajakku bertemu atau mampir ke restonya pun tidak.

Balasan Gania berupa decakan di seberang sana. "Ck, kurang jauh lah. Ke Malang sana yang jauhan," sindir Gania pedas. Semenjak aku bisa menyetir mobil dengan bantuan kedua temanku tentu saja yang sudah lebih dulu mahir mengendarai kendaraan roda empat itu, kami bertiga sering kali berpergian dengan track yang jauh dan bergantian menyetir. Kami bertiga pernah sampai ke Jogja sebelum Gania benar-benar pindah ke Singapore sana, bagi kami menyetir dengan track panjang sedikit bisa menenangkan jiwa meskipun raganya jelas sudah pasti lelah.

"Sinting! Bisa patah kaki gue," keluhku mengingat mobilku dikendalikan secara manual.

"Harusnya minggu ini lo ke Singapore aja, kan udah lowong kan kerjaan lo? Nggak kangen apa lo sama nyokap lo? Sama gue?"

Memang seharusnya bisa saja aku terbang ke Singapore Sabtu pagi kemarin dan kembali ke Jakarta di Minggu sore atau besok pagi, hanya saja kalau aku pergi ke sana dan tak membawa serta Nana atau Ajeng, Mama pasti merasa sedih, jadi lebih baik nanti aku cari waktu lowong lainnya sembari membujuk Nana untuk bisa ikut aku ke Singapore.

"Nanti dicari lagi waktu kosongnya, eh gue tutup dulu ya, Ni? Mau cari mascara gue nih, jatuh di mana kali," aku sedari tadi sibuk mengobark-abrik pounch make-up, laci-laci di meja rias, bahkan di atas meja riasku, namun entah kemana perginya mascaraku.

Tell No Tales | CompletedWhere stories live. Discover now