BAB 31

37 4 0
                                    

Waktu bergerak cepat.
Dia Minggu telah berlalu
Aksa semakin perhatian padanya. Dia masih datar dan sinis, tapi dia sisi manis anaknya terlihat begitu jelas. Bukan hanya menjemput  dan mengantarnya, tapi juga dia sering mengunjunginya di apartemen dan pulang sebelum jam sembilan  malam setelah makan malam. Biasanya kalau dia ingin bermain di tempatnya, ketika kendaraan mereka sampai di depan apartemen Seoul, Aksa akan meminta supirnya untuk pulang terlebih dahulu dan Aksa  naik bersamanya  ke apartemen nya. Belajar, menonton film atau memasak bersama. Aksa akan membantunya memotong sayuran atau mencuci bahan-bahan yang akan mereka masak.
Farras akan sudah satu dua kali datang  untuk makan malam dengan mereka, sebab menurutnya anaknya ada di sini jadi dia bisa ikut serta untuk menikmati makan malam bersama.

Saat Farras datang tak terduga, Aksa pasti akan menyuruhnya pulang dengan sindiran-sindiran sinis atau dengan kalimat tajam dengan mengatakan kalau tidak ada tempat untuk tamu yang tidak di undang. Di usir secara halus seperti itu tidak Farras goyah lalu pergi. Pria itu hanya akan menaikan setengah alisnya kemudian dengan santainya duduk di kursi makan Seoul, memakan hidangan makan malam mereka lalu bertindak bak yang siempunya rumah dengan menyuruh mereka untuk makan. Jika sudah begitu dia menyimpan rasa sebalnya dan membujuk Aksa untuk menikmati makan malam mereka bersama Farras. Hah, dia ingin waktu quality time bersama Aksa saat ini jadi dia berharap Farras tidak muncul. Dia ingin belajar lagi untuk melupakan Farras dan hanya ingin fokus ke anaknya saja.

Kali ini di jam 18.30 wib, dia sedang memotong wortel yang akan dia jadikan sup. Putranya sendiri tengah mengiris bakso untuk dia jadikan campuran sup. Dia mengusulkan untuk membuat sup dengan campuran bakso dan Aksa tidak mengeluarkan pendapat apapun. Tapi anaknya itu tetap mengikutinya ke dapur.

“Selama ini aku sangat senang,” cetusnya Seoul lembut. “Kau tahu kenapa?” Aksa hanya menengok tanpa bertanya, tapi dengan dia  merespon dengan tolehan kepalanya, itu adalah bentuk keingintahuan tentang pertanyaan Seoul yang akan Seoul jawab sendiri. “Karena aku sering menghabiskan waktu bersamamu,” ungkap Seoul kemudian.

Aksa lalu menunduk kembali melanjutkan kegiatannya memotong bakso menjadi tiga bagian lalu menceburkannya ke wadah stainless. Seperti yang Seoul lakukan saat ini menyisihkan memindahkan wortel tersebut ke satu wadah dengan  kol yang sudah di potong-potong. Seoul terus berceloteh merunduk dan berujar, “Aku harap ini akan berlangsung terus ke dapannya.” Karena ini yang Mama harapkan selama ini. Tidak peduli seberapa berubah nya sikapmu, Nak. Lanjut nya membatin.

Selesai mereka memotong bahan bahan yang akan mereka jadikan sup, Seoul memasak air kaldu bersamaa  bumbu  dan setelah mendidih dia menceburkan semua sayuran yang sudah di iris. Menuang bumbu penyedap Lalu setelah hampir matang dia baru menuang potongan bakso. Selepas itu mereka memasak hidangan lain. Kentang balado juga dan ayam goreng.  Ketika Seoul pertama kali memasak bersama Aksa, Aksa sempat bertanya kenapa dia begitu mahir memasak hidangan nusantara. Seoul yang sempat terdiam lalu menimpali kalau dia menyukai Indonesia jadi dia belajar memasak olahan khas indonesia. Bagus Aksa tidak bertanya lebih jauh, jadi dia aman.

Seusai memasak mereka makan malam dan Seoullah yang lebih banyak berbicara. Aksa hanya sesekali menanggapi ucapannya.

Selepas makan malam dan membantunya mencuci piring-piring kotor, Aksa tidak langsung pulang seperti biasanya. Dia yang masih memakai seragam sekolahnya mengajaknya ke balkon. Aksa mengatakan kalau dia ingin mengakui sesuatu dan itu memacu degub jantungnya. Jangan sampai pengakuan itu berupa pernyataan cinta yang akan katakan padanya. Seoul terus merapalkan do'a semoga bukan pengakuan cinta.

Dalam terpaan angin malam. Sang Juwita malam mengeluarkan sinarnya secara menyeluruh.   Bintang-bintang yang  berpendar menghampar di  cakrawala malam.

Aksa memecah keheningan yang menghampiri mereka. “Ayo kita berpacaran,” putus Aksa seketika.

Seoul menegang. Dadanya berdentam tak menentu ucapannya yang sempat tertahan di sejenak di tenggorokan dia keluarkan dengan susah payah. “Aku tidak bisa,” Seoul memaki  memaki dirinya sendiri dalam hati. Dia telah mengoyak perasaan anaknya. Tapi dia harus melakukan ini. “Lagipula kita lebih cocok berteman,” tambah Seoul hangat walau batinnya teriris karena jawabannya ini melukai anaknya.

“Kenapa?” Tanpa menghiraukan kalimat Seoul yang terakhir. Dia menggerakkan kepalanya ke Seoul yang tengah memandangnya sendu. Ada kemarahan, kekecewaan yang sakit di mata Aksa dan itu menyakiti Seoul. “Kau selama ini membututi ku ke manapun aku pergi. Kau juga selalu bersikeras mendekatiku meski aku pernah mengusirku untuk menjauh. Kau menyukaiku, kan?”

Seoul menggeleng pelan. “Kau salah paham. Aku memang menyukaimu, tapi itu hanya sebatas sahabat tidak lebih.”

“Kau bohong,” desisnya tidak menerima penolakan Seoul. “Aku bisa melihat sinar sayang yang teramat dalam saat kau menatapku.”

“Sebagai  sahabat, bukan sebagai seorang gadis,” sanggah Seoul pelan. Dia tidak tahan dengan ini.

“Kalau begitu aku membuatmu menyukaiku,” ungkapnya keras kepala.

“Seberapa keras kau berusaha aku tidak akan pernah menyukaimu lebih dari sekedar sahabat.”

“Kenapa?” tuntut Aksa mendesak. “Apa kau memiliki orang lain di hatimu?”

“Ya.”

“Siapa dia?”

Ayahmu.

Namun bibir wanita itu berkata lain. “Ming Guk,” akunya pelan. “Jang Ming Guk.”

Aksa menyergit. “Pamanmu? Kau menyukai pamanmu?”

Seoul menyergah. “Dia bukan pamanku,” jujurnya. “Dia terpaksa berbohong demi aku.” Seoul menghela nafas panjang. Sementara Aksa menunggu dalam keresahan. “Dia adalah kekasihku.”

Aksa tersentak terkejut. Menerima berita yang menggoncang hatinya ini.

Wanita yang Ku Cintai (End) Where stories live. Discover now