bab 10

97 5 0
                                    

"Apa Papa perlu menanyai Remi?” pancing Farras roman muka tenangnya.

Aksa memejamkan matanya. Dia sudah sudah besar. Haruskah ayahnya bersikap berlebihan seperti ini?

Ayahnya akan memperoleh informasi apapun yang dia inginkan. Kalaupun Remi tidak mengaku, ayahnya bsia mencari dari sumber lain. Dia tahu tabiat ayahnya yang tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia mau. Dia tidak ingin memperlebar apa yang seharusnya di perkecil dan dia tidak ingin Johan kena masalah. Meskipun hubungan dengan Johan memburuk dan memusuhinya apalagi dia menyangka kalau dia telah mengambil gadis incarannya. Oh ... Jelas dia tidak ingin terus diikuti oleh gadis tidak tahu malu itu. Tapi meskipun begitu,  Johan tidak mau tahu dan dia akan selalu menyalahkannya walau  terlihat dengan sangat jelas bahwa Seoul lah yang  senang mengekorinya ke mana-mana dan dia sangat risih.

“Aku bukan anak kecil,” teguhnya sinis. “Jadi jangan mengungkit masalah ini lagi.”

“Apa itu Johan?” terka Farras mengabaikan kemauan anaknya.

Kebungkaman Aksa saat ini menjawab semuanya.

Aksa menggerakkan tubuhnya menghadap Farras.  Siap untuk meluncurkan peluru terakhir yang mematikan keinginan ayahnya untuk membalas kelakuan Johan. “Aku akan tinggal bersama Kakek Langit  kalau Papa masih membahas masalah ini.” Bertatapan langsung pada mata hitam sang ayah.

“Dan Papa akan melaporkan pada kakekku kalau Johan sudah mengganggumu. Dia yang menyebabkan memar di lututmu. Papa juga akan menelusuri lebih dalam lagi tentang perlakuan apa saja yang sudah lakukan padamu. Papa yakin bukan hanya ini baru ini saja dia mengganggumu,”

Aksa tidak bisa menyanggah ayahnya lagi. Kakek Langit memang akan selalu membelanya begitu juga dengan Nenek Bening. Tapi kalau mereka tahu tentang kelakuan Johan, dia yakin pasti Kakeknya akan berada dipihak ayahnya. Menjadi cucu satu-satunya dikeluarga Thahir menjadikan dia dianak emaskan. Nenek kakeknya kan melimpahnya dengan curahan kasih sayang yang tidak akan ada habis-habisnya. Tapi mereka juga akan melindungi nya secara berlebihan. Terutama kakeknya. Semua sikap keras juga over protective itu datang adari kakeknya –langit.

Dia ingin menghadang niat ayahnya, tapi sekarang dia malah dibuat tak bergerak ketika melawan kehendak ayahnya. Andai ibunya ada di sini.

Oh ... Mama. Tidak dia bisa menghadapi masalah kecil ini.

“Jangan ikut campur, Pah. Aku ini sudah enam belas tahun. Sudah bisa menyelesaikan masalahku sendiri. Jangan perlakukan aku seolah aku anak batita yang baru bisa belajar berjalan.”

“Papa hanya mencoba melindungi mu. Melindungi harta papa satu-satunya. Bagian dari wanita yang Papa cintai yang  sudah pergi meninggalkan Papa. Jadi Papa tidak akan membiarkan siapapun melukaimu meski hanya sebuah goresan di tubuhmu.”

Aksa mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia tahu kasih sayang yang dipunyai ayahnya untuknya terlampau besar. Dia bisa merasakan itu. Kepedihan itu mengalir lagi ke  palung hatinya. Dia peninggalan ibunya dan ayahnya hanya berupaya untuk menjaganya. Tapi itu terlalu berlebihan.

“Apa Papa menyayangiku?”

“Apa Papa harus menjawab pertanyaan yang kau sendiri sudah tahu jawabannya.”

“Kalau begitu, tolong  beri sedikit saja  pengertian Papa untukku. Kalau aku ingin menyelesaikan masalah ini sendiri.”

Aksa  meninggalkan Farras yang mendesah di dalam kamar.

 Di tempat lain.

Di sebuah gedung kosong yang hanya terdapat sebuah ruangan yang hanya berisi sisa-sisa kayu yang telah lapuk di sudut- sudut ruang.

Ketiga remaja yang terduduk di lantai kotor dengan tangan terikat di belakang dan mulut tertutup lakban merapat pada tembok dengan mimik ketakutan mengamati Seoul yang duduk bersilang dengan sebuah pisau yang mengkilat tajam di tangannya.

Ada tiga orang preman berbadan besar dan berwajah sangar. Berdiri di sisi kanan dan kirinya.

Lengkungan senyum yang selalu tampak manis seperti sebelumnya kini terlihat mengerikan bagi Johan, Haikal dan Badron. Seoul menyentuh ujung pisau sampai ke pangkalnya. “Pisau ini sudah ku asah.” Memaku matanya pada benda tajam itu. “Sekarang ini sangat mudah untuk mengiris daging yang keras sekalipun.”

Ketiga remaja itu bergidik. Matanya membesar dihimpit rasa takut yang semakin menjadi. Tadi tiga orang ini menghadang mereka di jalan yang sepi ketika akan menuju ke sebuah cafe tempat mereka sering nongkrong. Mereka lalu di bawa paksa ke dalam mobil dan dibawa ke tempat yang Meraka sendiri tidak tahu ini di mana, sebab ketika mereka di mobil mata mereka di tutup dan ketika mereka di bawa turun dari mobil penutup mata mereka masih melekat di kepala mereka dan baru di lepas ketika sampai di tempat ini dan mendapati Seoul sudah ada di sana.

Seoul beranjak dari kursi.

Mereka semakin mengkeret.

Gadis itu  menekuk sebelah kakinya menumpukan lututnya pada lantai. Johan menggeleng ketakutan. Berusaha berkata 'jangan' tapi lem yang melekat di mulutnya menutup aksesnya untuk berbicara. Mata pisau itu beberapa centi dari urat lehernya. “Kau ingin berbicara, hmm.”

Seoul melepas lakban itu kasar hingga Johan meringis kesakitan. “Ke-na-pa kau melakukan ini pa-da Kami? A-pa sa-lahku?” katanya terbata. Hilang sudah perasaan kagum dan sukanya pada gadis yang dia sangka ramah dan berhati lembut itu. Seoul seperti memiliki kepribadian ganda. Gadis itu tampak seperti psikopat yang senang sekali memainkan benda tajam untuk menyiksa korbannya. Menyesal dia sudah menyukai Seoul.

“Kau ingin tahu?”

Johan mengangguk cepat dengan tubuh gemetar. Haikal dan Badron mengamati mereka ingin tahu apa yang sebenarnya kesalahan yang telah mereka lakukan.

“Kau masih ingat dengan apa yang kau lakukan tadi siang?”

Johan digiring pada kejadian di sekolah Seoul mendadak menusukan pandangan dingin yang membuatnya menggigil.

“A-pa ini karena Aksa?”

“Ya.” Seoul menaikan pisau tajam ke wajah Johan. “Tidak, ku mohon,” pinta Johan ngeri. “Jangan. A-ku tidak akan mengganggunya lagi kalau tidak suka. Aku akan menjaga jarak dengannya.”

Badron dan Haikal mengangguk meski Seoul tidak sedang mengajak mereka berbicara. Mereka masih ingin hidup.

“Anak pintar.” Seoul menjauhnya pisau tajam itu dari Johan yang menghempaskan nafas lega. “Setelah ini kau dan.” Seoul melirik Badron dan Haikai bergantian. “Kedua temanmu datangi Aksa dan minta maaf padanya. Bujuk dia agar dia tidak pindah. Apa kau mengerti?”

Kedua remaja di samping Johan mengangguk patuh dan takut.

Wanita yang Ku Cintai (End) Where stories live. Discover now