Bab 5

123 6 0
                                    

Seoul menimpali dengan bibir terkembang. “Aku mau ikut denganmu. Aku tidak memiliki kendaraan, aku juga orang baru di sini. Apa kau tega kalau terjadi apa-apa padaku? Tadi juga aku sempat nyasar sebelum sampai di sini. Lagi pula rumahmu kan satu arah dengan apartemenku. Jadi tidak ada salahnya kalau aku ikut denganmu.”

“Tidak,” tolak Aksa tajam. Dia pikir mobil ayahnya ini jasa angkutan gratis yang bisa mengantarkan nya setiap dia mau. Seoul murid baru di sini. Jadi bagaimana dia tahu letak Kediaman nya. Dia menyipit. “Darimana kau tahu rumahku?”

“Remi,” bohong nya lancar. “Dia yang memberitahuku.”

Uurgh! Aksa ingin sekali melempar bocah tengik itu ke sarang buaya. Biar dia dia dikunyah habis oleh predator yang hidup di dua tempat itu. “Kalau kita terus seperti ini, kita tidak akan pernah sampai rumah. Apa lebih baik kau meminta pak supir untuk menjalankan mobilnya,” usul Seoul.

Aksa yang telah hilang kesabaran membuka pintu. Mengitari mobil lalu menarik tuas mobil. “Keluar.” Dia mencengkram lengan Seoul. Tapi bibir gadis itu bergetar. Air matanya menggenang sedih. “Aku takut kesasar lagi.” Beningnya tetesan air mata itu tumpah. “Aku ini seorang gadis dan aku baru di kota ini. Bagaimana kalau ada orang yang menyakitiku di jalan. Bagaimana kalau aku ke melewati jalan yang salah.” Tangisnya mengeras.

Aksa jadi frustasi dan perlahan mengendurkan cekalannya.

Aksa tidak bisa melihat gadis menangis. Dia selalu mengingat wejangan ibunya.

Ingat, Nak. Kau tidak boleh mempermainkan hati seorang perempuan apalagi sampai membuatnya menangis. Mama  ini juga seorang wanita, apa kau mau seandainya Mama di permainkan atau disakiti oleh pria.

Pak Zen yang di belakang stir meringis  serba salah. Dia kasihan melihat gadis cantik yang sampai menangis hanya karena ingin naik satu mobil dengan den Aksa. Tapi dia juga tidak bisa membuka suara, sebab sekarang tuan kecilnya itu bukan tidak lagi sama dengan tuan kecilnya sebelum nyonyanya meninggal. Dia berubah. Kepergian nyonya membuatnya terpukul hingga dia jadi pendiam dan sering sekali muram. Walau dia tidak pernah bersikap sinis padanya atau pada para pembantu di rumah tapi dia beberapa kali menemukan sikap sinisnya saat berbincang dengan ayahnya sendiri –yang tidak lain adalah tuannya.

Tidak ada lagi remaja hangat yang selalu mengumbar senyum dan ramah. Yang selalu dia temui adalah datar dan seperti selalu ingin menarik diri dari pergaulan. Johan, Haikal juga Badron juga kena imbasnya. Mereka dulu sering main ke rumah, tapi semenjak dua Minggu yang lalu hanya tuan Remi yang mengambangi kediaman anak tuannya itu. Menurut pengakuan Remi, Johan dan teman-temannya sedang memiliki masalah dengan Aksa. Dia tidak tahu itu apa? Sebab den Remi juga tidak pernah menceritakan lebih jauh. Tapi dia rasa, ini ada kaitannya dengan sikap den Aksa yang berubah total.

Remaja kembali memutari mobil dan masuk duduk di sebelah wanita yang sudah menghentikan tangisan sedang melap wajahnya dengan jeri jemarinya dengan menyematkan lekuk dibibir sambil memandangi Aksa. Yang diperhatikan hanya memerintahkan sang supir untuk jalan dengan muka muram. “Jalan, Pak.”

“Iya, Den.” Lalu menekan stater mobil dan mengemudikannya ke luar dari area sekolah.

Sepanjang perjalanan Aksa mengunci mulutnya. Soul terus mengoceh sendiri dan tidak pernah dia tanggapi. Dia akan terus membiarkan gadis kurang waras itu terus berbicara sampai dia lelah dan menstop mulutnya kalau sudah capek. Tapi tusukan di pipinya membangkitkan kejengkelan luar biasa di hati Aksa. Dia menyorot tajam Seoul yang tengah menurunkan telunjuknya. “Kenapa wajahmu ditekuk terus sedari tadi? Apa kau masih kesal karena aku ikut pulang denganmu?” ujar Seoul polos.

IYA!!

Ingin sekali dia berteriak di telinga Seoul. Apa dia sudah sadar kalau bukan sejak istirahat gadis itu sudah merusak suasana hatinya. Dia mengekorinya terus-terusan, seperti anak ayam yang tidak ingin ketinggalan oleh induknya. Hah! Dia itu lelaki mana pantas dia berperan sebagai induk ayam. Gadis ini sangat tidak punya harga diri, tidak tahu malu dan segala yang jelek-jelek yang pantas disematkan untuk gadis itu. “Berhenti,” kata Aksa pada sang supir.

Mobil berhenti dan Aksa keluar dari mobil lalu duduk di samping pak Zen, meminta si supir itu untuk mengemudikan mobilnya kembali. Seoul merengut. Pak Zen mengamati gadis itu dari kaca utama. Dia ingin tertawa tapi dia menelan bulat-bulat keinginan nya. Nona yang entah siapa namanya itu terlihat lucu namun menggemaskan. Mereka nampak cocok. Den Aksa sangat tidak ingin didekati dan Nona itu jelas selalu ingin bersama dengan anak majikannya itu. Gadis itu terlihat pantang menyerah, meski mendapat sikap tidak baik dari anak tuannya itu. Moga gadis itu bisa menarik den Aksa dari kubangan kesedihannya. Bisa mengubah anak itu menjadi anak yang ramah dan lembut seperti dulu. Kelembutan yang diturunkan oleh sang ibu yang tiada.

Pak Zen berjibaku dengan kemacetan ibukota. Ketika berada di jalan depan gedung apartemen, Seoul meminta Pak Zen berhenti. “Pak, terima kasih,” ujarnya pada lelaki yang ada di belakang kemudi itu. “Sama-sama, Non,” balas Pak Zen sembari menoleh.

Seoul lalu mencondongkan tubuhnya ke jok Aksa yang mengamati jalan tidak mau  melihat Seoul.  “Hai, terima kasih buat tumpangannya. Sampai berjumpa di sekolah,” ujarnya ramah.

Seoul tahu dia tidak akan mendapat balasan, dia keluar. Kemudian mobil bergerak menjauh. Dia mendesah. Dia enggan melepas matanya dari kendaraan yang sudah mulai menjauh. Dering ponsel memudarkan fokusnya. Mengambilnya dari dalam tas. “Appa(Ayah)”

Geuleul mannassnayo?(kau sudah menemuinya?)”

Kesenduan berbalut senang itu mampir di mata coklatnya masih memaku tatapannya pada mobil yang sudah tampak mengecil. “Nde(ya)”

Dangsin-eun jigeum haengboghaeyahabnikka(Kau pasti senang saat ini)”

“Geunyeoga nae jonjaee mobsi goelowodo nae geulium-i chiyu doeeoss-euni sang-gwan eobs-eo(Meski dia sangat terganggu dengan keberadaan ku, tapi itu bukan masalah sebab rinduku telah terobati).”

Dangsin-ui bangsigdaelo jinhaengdoeji anh-eun geos gatseubnida. Appaga jeanhan geos-eul gajyeo gamyeon deo johji anh-eulkkayo ... (Sepertinya  tidak berjalan sesuai  harapanmu. Apa tidak lebih baik kalau kau mengambil apa yang ayah usul ... )”

“Appa, please. Geunyang ileohge duseyo. Naneun geuwa gakkai issgo sip-eoyo.(Biarkan seperti ini saja. Aku hanya ingin berada di dekatnya)”

Terdengar desahan dari ujung sana. “Naneun danji il-i swiwojigileul wonhago ulineun dangsin-i yeogi issgileul jeongmallo wonhabnida. (Aku hanya ingin semua menjadi mudah dan sesungguhnya kami ingin kau ada di sini)”

“Joesonghabnida. Hajiman naneun geu gil-eul taeghal su eobs-seubnida, Appa.(Maaf. Tapi aku tidak bisa mengambil jalan itu, ayah)” sesalnya. Jika dia setuju dengan cara ayahnya, akan ada hati yang terluka. Meski seharusnya dia tidak perlu mengasihaninya tapi batinnya mencegahnya untuk melakukan itu.
















Wanita yang Ku Cintai (End) Where stories live. Discover now