Bab 12

72 4 0
                                    

Pukul 07.00 WIB.

Remaja itu memandangi pagi dari balik jendela kaca. Awan di sirami mentari menambah riak hangat juga kesejukan bagi si penikmat. Tapi mimik wajah remaja berseragam putih abu-abu itu tidak memunculkan binar puas atau senang. Dia tidak memiliki ekspresi apapun.

Seoul yang memerhatikan sedari tadi. Mengunci mulutnya membiarkan remaja itu dengan dunianya sendiri. Sinar kasih juga sedih tertera di bola matanya.

Fika ingin sekali membumi hanguskan Im Seoul hanya bisa mengerutkan bibirnya kesal. Sebab dia sudah mencuri start nya untuk mendekati Aksa. Di tambah lagi Remi memilih duduk di sebelahnya dan mengintimidasi nya untuk tidak menyentuh Seoul. Anak itu tengah makan memotret Seoul dengan ponselnya dari belakang. Dia ingin menendangnya, tapi dia hanya menelan kekesalannya. Dia malas cekcok dengan Remi pagi-pagi.

Johan masuk bersama dengan dua temannya dengan gaya arogansinya. Tapi tatkala dia dan yang lain bertemu pandang dengan Seoul yang menampilkan senyum bak malaikat yang tidak pernah berbuat dosa, kearogansian mereka punah dan menghindari kontak mata dengan Seoul dengan roman ketakutan yang tidak ingin didekati. Lalu mereka duduk di kursi mereka tanpa pernah menoleh dan berpura-pura sibuk mengeluarkan buku mereka.

Seoul tergelitik geli dalam batinnya. Dia masih ingat wajah-wajah ketakutan tanpa daya dari ketiganya. Dia tidak sungguh-sungguh dengan ancamannya kemarin. Dia hanya menggertak mereka agar tidak lagi mengganggu Aksa. Dia tidak mungkin tega melukai mereka. Walau dia memiliki kemampuan untuk melakukan itu, tapi dia tidak memiliki kekuatan untuk melukai orang lain. Dia tenang karena tidak ada lagi yang mengganggu ketenangan Aksa -remaja yang amat sangat dia sayangi.

Tidak lama Bu Veronica, guru sejarah. Masuk dan memulai pelajaran.

•••

Di jam istirahat.

Aksa yang tidak lagi rewel dengan keberadaan Seoul, bersikap masa bodoh. Dia membiarkan gadis itu mengikutinya ke kantin. Duduk di sampingnya dan Remi di seberangnya.

"Gue pesan dulu," cetus Remi. "Loe persen kayak biasa kan?" tanyanya pada Aksa yang mengganti lagu di ponselnya dengan headset di telinga. Remi berdecak. Merutuki kebodohannya. Mana mungkin itu patung es menyahut kalau enggak penting banget. Dia akan menyamakan pesanannya Aksa dengannya. Dia mengirim tatapannya ke Seoul dengan roman hangat khusus untuk gadis itu. "Kau mau makan apa?"

"Samakan saja dengan Aksa," sahutnya lembut.

"Oke, tunggu sebentar." Remi pergi untuk memesan pada ibu kantin. Bakso dengan es teh. Dia balik lagi ke tempatnya. Bertopang dagu memandangi Seoul yang makin hari makin bersinar dan enggan untuk mengalihkan matanya darinya. Remaja-remaja di kantin ini pun yang tadinya berebut untuk menawarkan tempat duduknya kini hanya bisa gigit jari dan mengamati remaja cantik itu dari tempat makan mereka.

Johan, Haikal dan Badron ketika mendapati Seoul ada di kantin langsung kabur ketakutan.

Remi yang mengamati tingkah aneh Johan cs hanya mengerutkan dahi. Seoul menyapa mereka lewat senyum, tapi kenapa mereka seperti sedang melihat setan? Ada apa dengan mereka? "Gue heran kenapa mereka terlihat ketakutan kayak gitu?" komentarnya heran. "Loe enggak jadi pindah kan, Sa? Loe enggak bener-bener menuhin taruhan loe sama Johan kan?"

"Tidak." Aksa mengerti sekarang. Seoul. Gadis itu itu adalah dalang dari sikap aneh Johan dan lainnya kemarin.

Desahan lega diikuti cengiran senang terpampang di remaja yang usianya sama dengan Aksa itu. "Bagus deh. Gue kira loe bakal nyanggupin taruhan mereka. Soalnya kalo loe pergi Fika pasti bakal patah hati banget," sindirnya dengan gelak tawa. "Dia kayaknya demen benget sama loe. Dia keliatan dongkol banget liat loe duduk sama Seoul," kelakarnya. Dia mulai membujuk gadis incarannya. "Seoul. Kenapa sih kau betah banget duduk bareng cowok es seperti dia." Seraya menunjuk Aksa. Dia melipat lengannya di meja. "Lebih baik kau pindah dan duduk denganku. Aku tidak akan mengabaikanmu. Aku akan meminta Fika pindah kalau mau duduk denganku."

Seoul tertawa ringan. "Maaf, Remi. Aku sudah nyaman dengan tempat dudukku yang sekarang. Tapi terima kasih untuk tawarannya."

Remi menghela nafas lelah. "Hah. Hari ini gagal lagi. Besok aku akan mencoba peruntungan ku untuk membawamu pindah dari sisi Aksa." Seoul menahan bibirnya untuk tidak tertawa. Anak ini sering membubuhi ucapannya dengan kalimat hiperbola. Tapi anak ini pandai sekali menghibur orang dengan kelakarnya.

Secara tidak terduga Aksa menarik tangan Seoul. Gadis itu terseok-seok mengikuti nya. "Eh, loe mau bawa ke mana dia?" Remi mengejarnya menghalaunya menghadang jalannya.

Anak-anak yang sedang di kantin menutup mulutnya. Mematrikan pandangannya pada Aksa, Seoul dan Remi.

"Jangan ikut campur." Aksa menabrak dada Remi. Remi merasakan ada getar kemarahan dalam hunusan dingin di iris gelap temannya.

Aksa membawa Seoul ke gudang belakang sekolah. Menghempaskan lengan gadis itu kasar hingga Seoul terhuyung.

Ruangan ingin pengap. Ada meja dan kursi yang tidak terpakai. Lemari tua. Banyak sarang laba-laba di atap gudang.

"Kau yang menekan mereka, bukan?" Pernyataan yang meluncur dari mulut Aksa menyetak batin Seoul. Tapi dia tampak biasa-biasa saja.

Gadis itu mengelus lengannya sambil merunduk melihat lengannya. "Apa yang kau bicarakan?" Menaikan tatapannya.

"Kemarin Johan, Haikal dan Badron memohon padaku untuk tidak pindah. Mereka ketakutan dan berlutut meminta maaf padaku," jelasnya tajam. "Aku mengenal mereka, mereka tidak mungkin menggerus harga diri mereka sendiri kalau tidak terpaksa." Aksa mulai menyerangnya lewat lisannya. "Kau orang dibalik ketakutan mereka. Kau yang memaksa, bukan?"

Dia tahu dan Seoul tidak ingin beragumen lebih banyak lagi. Dia dengan lekuk senyum itu mengaku. "Aku hangat sedikit menggertak mereka karena mereka mengusikmu."

Aksa tidak suka urusan pribadinya dicampuri oleh orang lain. Terlebih orang itu adalah gadis asing yang kerjaannya hanya membututinya tiap hari. "Jangan pernah ikut campur. Urusi urusanmu sendiri." Dia mengerjakan kakinya ke luar gudang.

"Aku akan selalu ikut campur selama itu menyangkut dirimu."

Aksa bergeming sejenak. Lalu bergerak melanjutkan langkahnya.

Seoul meneruskan kata-katanya dalam hatinya.

Aku tidak akan pernah rela siapapun menyakitimu. Aku menukar kebebasan ku untuk menemuimu. Mengikat diriku pada lelaki lain untuk bisa melihatmu dari jarak yang sangat dekat. Semua itu aku lakukan agar aku bisa menjagamu. Jadi bagaimana mungkin aku berdiam diri ketika mereka melukai harga diri dan perasaanmu.

Wanita yang Ku Cintai (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang