Bab 9

67 5 0
                                    

Kau panggil apa aku barusan?”

Seoul mengutuk kebodohannya dalam kerutan di keningnya. “Aksa,” sahutnya atas pertanyaan Aksa yang kini memicingkan matanya. “Memang ada apa? Apa ada yang salah dengan caraku memanggil mu? Atau kau mau aku panggil denga sebutan lain?” Lidahnya terpeleset. Dalam kepanikan dia malah memantik kecurigaan dalam diri Aksa yang mungkin bisa mengacaukan rencananya.  

Aksa tidak salah dengar. Seoul memang memanggilnya dengan sebutan 'Kara'. Sebutan khas dari seseorang yang tidak pernah dia lupakan. Tapi gadis di depannya ini menutupinya dengan kebohongan.

Johan menyerobot pembicaraan mereka. “Sekarang gue yang menang. Jadi loe harus tepatin janji loe buat hengkang dari sekolah ini,” ingatnya santai dengan tampang pongah. Fokus Aksa berganti. Dia mengalihkan matanya ke Johan.

“Loe bukan pengecut 'Kan? Yang akan mangkir dari taruhan kita. Hasil akhinya nentuin kalo gue yang menang. Gue harap loe masih laki yang bakal nepatin perkataan loe.” Johan berusaha memprovokasi Aksa agar mau memenuhi taruhan mereka. Dia dengan segala kekuasaan yang kakek dan ayahnya miliki bisa saja mengingkari setiap ucapannya dan tidak mungkin jika malah bisa jadi dia yang bisa dikeluarkan dari sekolah karena pertaruhan mereka tadi. Meski dia tahu Aksa bukan lelaki munafik yang bisa mengabaikan setiap ucapan yang telah keluar dari mulutnya selama yang dia kenal selama ini, tapi Aksa yang sekarang bukan Aksa yang dulu. Dia sudah berubah jadi sinis dan bisa dibilang tidak memiliki empati.  

“Loe yang curang!” Tunjuk Remi kesal ke Johan. Dia selalu santai selama ini, tapi dia  tidak terima jika sahabatnya ini dipermalukan dan dia tidak ingin Aksa keluar dari sekolah ini. “Loe gunain kaki loe buat ngetohin dia. Dan skor akhirnya jelas-jelas enggak ada karena permainan ini belum kelar.”

“Permainan dah kelar. Gue yang jadi pemenang nya,” balasnya mengejek. “Gue yang nentuin peraturan dalam permainan ini. Lagian temen loe enggak akan menang walau  gue kasih perpanjangan waktu.”

“Loe!”

“Aku akan keluar dari sekolah ini,” putus Aksa datar.

“Aksa loe bodoh atau gimana, ya kali loe nurutin omongan si curut ini.” Tunjuk Remi ke Johan sebentar lalu meneruskan perkataannya. “Loe enggak perlu ngebubris dia dan anggap taruhan loe sama dia tadi sekedar omong kosong. Gue ... “ Ucapannya terhenti karena Aksa bergerak pergi. “Aksa,” panggilnya sembari mengejar Aksa.

Seoul sempat mereda terharu juga sedih mengawasi punggung remaja rapuh yang masih  diberondong ocehan-ocehan kekesalan Remi. Dia menggeser pandangannya ke Johan dengan air muka yang jelas sangat beku. Hingga Johan meneguk salivanya berat. Ada amarah yang terpendam kuat dalam diri gadis itu. “Seoul aku ... “

“Aku kecewa padamu.”

“Seoul aku melakukan ini untukmu,” gugup Johan.

Haikal dan Brandon merasakan aura mematikan dalam mata bening itu.

Seoul memutar tubuhnya lalu berjalan keluar dari gedung olah raga.

•••

Aksa menutup pintu kamar. Melempar tas ranselnya  ke ranjang lalu duduk di kursi belajar yang ada di depan tempat tidurnya.

Lengan kanannya menempel di meja dan jemarinya yang lain menarik figura yang berisikan foto ibu bersamanya yang mereka ambil di taman hiburan satu tahun yang lalu. “Mah,” panggilnya. Segaris senyum tipis itu keluar. “Tadi Johan mengganggu ku lagi. Dia memberiku tantangan yang mengharuskan ku untuk keluar dari sekolah.” Dia mengambil nafas lalu menghempaskannya lelah. “Aku tahu kalau aku pasti akan kalah dalam taruhan itu. Tapi aku tidak takut dan tidak menyesal. Karena walaupun aku kalah telak darinya, paling tidak aku sudah membela mama.” Suaranya berubah serak. Riak-riak kesedihan itu hadir. “Walau aku harus meninggalkan sekolah itu dan juga meninggalkan  temanku.” Meski dia begitu tidak mempedulikan Remi. Tapi hanya Remi yang mau menerima perubahan sikapnya, Remi tidak membencinya dan selalu ada walau terkadang kata-katanya terdengar konyol tapi itu sedikit meramaikan hidupnya yang sepi. “Aku tidak masalah. Asal aku bisa membuat mereka bisa menghargai mama kembali itu yang terpenting untukku.”

•••

Beberapa jam kemudian.

Aksa melipat celana komprang coklatnya hingga di atas betis.

Memar biru keunguan akibat terjatuh di ruang olah raga tadi. Dia tidak terlalu memikirkannya dan dia harus menutupi ini dengan memakai celana panjang. Dia tidak ingin ayahnya cemas dan tidak mau memperpanjang masalah ini, ayahnya itu terlalu protektif padanya tidak menutup kemungkinan kalau  ayahnya dia akan pindah sekolah nanti gara-gara Johan juga memar itu muncul karena perbuatan Johan, dia yakin ayahnya akan mendatangi Johan dan tidak akan membiarkan dia lepas begitu saja.

Dia masih ingat kejadian sembilan   yang lalu, di mana ayahnya membelikannya motor ninja dan suatu waktu ketika dia pulang sekolah, sebuah kendaraan bermotor dari arah belakang yang ingin mendahului nya tidak sengaja menabraknya dengan sekencang-kencangnya hingga terlempar dari kendaraan dan harus diopname hingga beberapa minggu. Lengannya retak hingga harus memakai gips di tangannya selama sebulan penuh. Meski ayahnya melarangnya untuk keras untuk main basket tapi berkat ibunya ayahnya luluh dan mengizinkannya untuk bermain di tim basket di sekolahnya. Tapi itupun jarang dan hanya sebegai pemain cadangan. Ayahnya meminta omnya untuk mengurangi jadwal ekstrakurikulernya dan pelatihnya tidak pernah menjadikannya sebagai pemain utama yang bisa ikut bertanding. Itu juga atas instruksi omnya, Om Rega tidak jauh berbeda dari ayahnya. Keras dan tidak mau dibantah. Dia harus menerima hanya sebagai pemain cadangan di tim. Om Rega kalau sudah berurusan dengan keluarga akan over dan dia mendapat permintaan dari ayahnya kegiatan olah raganya karena  omnya itu tahu kalau retak di lengannya sering menimbulkan rasa sakit kalau terlalu di paksakan untuk berolah raga lebih.

Mengenai penabraknya, pria itu di masukan ke penjara dan keluar dari penjara empat bulan kemudian. Setelah ibunya terus membujuk ayahnya untuk mencabut tuntutannya ke polisi. Pria juga terluka dan dia harus merasakan dinginnya lantai penjara hanya kerena kecerobohan nya. Ibunya tidak tega dan usahanya berhasil setelah sekian lama berusaha mekunakan hati anaknya. Lelaki itu memiliki keluarga dan ibunya tega tega jika lelaki yang menabraknya itu terus dihukum sementara ada anak dan istri yang harus dia nafkahi.

Aksa sudah memaafkan lelaki itu dan dia tidak ingin Johan berurusan dengan ayahnya.

Aksa mengambil  salep dari kotak obat yang dia ambil dari kabinet nakasnya. Memutar tutup kecil dan mengoleskan salep tersebut ke lututnya.

“Ada apa denganmu?”

Aksa tegang sebentar. Dia merasakan derap langkah ayahnya mendekat.

Dia berusaha rileks. Ini hanya masalah kecil, dan dia tidak ingin ayahnya memperbesar masalah ini. Aksa lalu menutup salep tersebut dan menempatkannya kembali di kotak obat. “Aku terpeleset dan terjatuh.” Aksa menurunkan lipatan celananya ke bawah. Memasukan kotak obat itu ke bagian  bawah kabinet dan menutupnya.

“Kau tidak sedang berbohon?”

Ayahnya berusaha menyelidiki nya. Dia tahu ayahnya tidak akan mudah percaya pada penjelasan nya.

Aksa berdiri. Nyeri itu menyerang lututnya berhadapan dengan ayahnya yang masih mengenakan kemeja kerjanya yang telah di singsingkan hingga ke siku dan kancing atas yang telah lepas. Celana hitam masih melekat sepatunya sudah diganti oleh sandal rumah tapi masih dengan kaos kaki yang membungkus kaki ayahnya.

Aksa  bersitatap dengan ayahnya tengah menggali kejujuran di matanya dari balik kaca mata minusnya. “Kau tegang tadi,” kata Farras menguraikan analisisnya. “Jadi Jangan mencoba mengelabui Papa dengan menutuoi semua lewat kebohonganmu,” sambungnya mutlak.   “Apa ada  yang mengganggumu?”

“Ini bukan masalah besar. Jadi tidak perlu membahasnya.”

“Apapun mengenai dirimu itu penting bagi Papa.”

Aksa melewati Farras. “Papa belum selesai, Nak.”  

Aksa menghentikan langkahnya. Isyarat bahwa ada kemarahan yang bersembunyi dalam intonasi rendah menyeret itu memutuskan laju kakinya.

Di belakang ayahnya menuntut jawaban yang sebenarnya.





Wanita yang Ku Cintai (End) Where stories live. Discover now