Bab 3

197 12 0
                                    

Empat bulan kemudian ...

Seorang gadis remaja mengenakan kaos polo lengan panjang garis-garis dengan  plaid mini skrit hitam  menggeret koper besar  keluar dari pintu keluar bandara. Kerinduan itu mengisi setiap relung jiwa nya yang selalu hingga dia meminta seseorang untuk memantau  remaja itu.

Dia sudah memiliki kesepakatan dengan ayahnya, jika dia ingin berada di dekat remaja itu dia harus memenuhi satu syarat. Syarat yang mungkin akan mengikatnya atau malah sebaliknya.

Suasana bandara ramai. 

Kaki yang dibungkus dengan sepatu boot heel hitam berhenti. Segaris  senyum itu mampir di bibirnya. “Aku kembali, sayang,” gumamnya.

Ke esokan harinya ...

Ruang kelas yang gaduh itu otomatis menjadi hening.

Mata murid laki-laki seolah tersihir oleh kecantikan gadis bermata bermata bulat yang mengendol tas di belakang punggungnya.

Tinggi gadis itu sekitar 160 cm lebih. Warna rambut coklat panjang sepunggung, bibir tipis dan smile eyes yang meluluhkan hampir semua remaja laki-laki di kelas ini. Kecuali, Aksa yang sejak tadi lebih memaku pandangannya pada tetesan gerimis yang jatuh pada jendela.

“Anak-anak.” Mulai Pak Ardi berbicara. “Kalian kedatangan murid baru.” Dia menoleh pada Seoul. “Seoul, perkenalkan dirimu.”

Anak-anak perempuan menatap sebal pada si anak baru yang akan merebut perhatian pada murid laki-laki. Mata remaja pria di kelas berbinar-binar senang tak mau mengalihkan matanya pada yang lain seakan takut Seoul hilang dalam pandangan mereka. “Seoul perkenalkan dirimu,” suruh Pak Ardi ramah.

Seoul memperkenalkan diri. “Hallo.” Tengannya melambai. “Aku Im Seoul. Aku siswa pindahan dari Korea Selatan.”

“Hai, Seoul,” sapa hampir seluruh Anak laki-laki serempak sembari melambaikan tangannya. Anak laki-laki takjub sebab Seoul begitu fasih berbicara bahasa Indonesia. Mereka pikir anak baru ini akan berbicara menggunakan bahasa Inggris.

“Seoul ini menguasai tiga bahasa,” jelas Pak Ardi.

“Waah,” sahut murid laki-laki antusias dan kagum.

Pak Ardi mengamati Aksa sejenak. Dia mendesah dalam hati mendapati anak sahabatnya itu masih tampak tenggelam dalam dunianya sendiri. Peringai  anak itu berubah tak lama setelah kepergian Milady –istri Farras. Farras sudah mencoba mengajaknya untuk menemui psikolog agar dia bisa terbuka dan menjadi anak yang ramah dan berhati lembut seperti dulu. Tapi ... Aksa menolak dan akhirnya Farraslah yang mendatangi psikolog pria tersebut untuk mengurai masalah yang dialami oleh anaknya.

Seoul menggerakan pandanganya pada murid-murid. Lalu tatkala tatapannya menemukan remaja yang mengabaikan kehadirannya dia hanya bisa memandang sendu Aksa sejenak lalu beralih pada teman-temannya.

“Seoul kau duduk di kursi belakang.” Tunjuk Pak Ardi pada bangku kosong di sebelah Fika. Seoul menuruti dan duduk tepat di belakang Remi. Remi pun mengikuti gerak pandangnya ke Seoul yang duduk di belakangnya. Dia terpesona pada gadis yang memiliki senyum manis itu.

Pak Ardipun memulai pelajaran. Anak-anak laki-laki yang kebanyakan sibuk memerhatikan Seoul mendapat teguran kecil dari Pak Ardi yang memerintahkan mereka untuk membuka buku pelajaran.

Dua mata pelajaran sudah dilalui.

Jam istirahat tiba. Anak laki-laki bergegas berkerumun di meja Seoul. Itu membuat Fika mendengkus jengah, teman-teman sekelasnya seperti bocah-bocah norak yang baru melihat gadis cantik. Di sekolah mereka memang memiliki banyak gadis-gadis cantik tapi memang harus diakui belum ada yang semenarik Im Seoul. Wajahnya lembut dan senyumnya menawan. Belum lagi wajah koreanya yang berbeda dari gadis-gadis cantik di sekolah ini, itu menambah nilai plus buat anak baru yang duduk di sampingnya ini. Kalau saja dia tidak menangkap ketidakpedulian Aksa  sudah pasti tidak akan suka padanya, sama-sama gadis-gadis di kelasnya ini.  Aksa tidak terpukau atau takjub dengan si gadis korea ini, jadi dia bisa merasa aman karena Seoul tidak akan menjadi saingannya. Walau dia terbilang cukup cantik dengan gaya tomboynya dengan rambut di ikat ekor kuda dan ujung lengan kemeja putih pendeknya yang memiliki  beberapa lipatan kecil. Dia tidak akan pernah bisa melampaui Seoul, dan dia harap gadis itu tidak akan mencoba menarik perhatian Aksa. Kalau sampai itu terjadi, dia akan membuat perhitungannya.

Anak-anak laki-laki mengulurkan lengannya secara bersamaan, ingin berkenalan dengan murid cantik ini.

“Hai Seoul, aku Bima.”

“Aku Adit.”

“Aku Hendi.”

Remaja lelaki yang lain juga memperkenalkan dirinya. Seoul hanya tersenyum kikuk tidak mengira kalau kedatangannya bisa mengudang perhatian anak laki-laki di sini. Johan membelah kerumunan itu kasar menyingkirkan anak-anak lain dan menghalau semua tangan itu kasar. “Loe-loe pada enggak punya otak! Seoul keganggu ama Loe-loe pada. Mending Loe semua bubar!” katanya nyalak.

“Loe enggak berhak ngelarang-ngelarang  kita. Seoul sendiri enggak ngomong apa-apa, ngapa loe yang sewot?” kesal remaja bernama Dito.

Johan meradang. Dia menarik kerah Dito. “Loe berani sama gue?!”

Haikal dan Badron menyeringai mengejek ke remaja sok berani itu. 

Dito berdecih. “Semua anak-anak di sini  juga tahu loe dan juga Genk loe itu bukan apa-apa tanpa Aksa. Loe bisa lolos dari hukuman-hukuman yang mesti loe terima karena Aksa 'kan? Jadi buat apa gue takut.”

Mereka semua tahu kalau Johan selalu saja mendapat pembelaan Aksa. Aksa terlalu baik untuk dimanfaatkan dan selalu bersikap ramah pada siapapun meski dia tahu saat ini anak itu berubah. Tapi  teman sekelasnya itu tidak pernah mencari gara-gara. Tidak seperti Johan yang selalu berlagak seakan sekolah ini miliknya. Johan juga bukan anak yang terbilang kaya-kaya amat. Tidak seperti keluarga Aksa. Keluarga ibunya memiliki beberapa cabang sekolah bertaraf internasional di dua kota besar. Sementara ayahnya adalah seorang Chief Executive Officer di perusahaan keluarga yang sedang dia pegang. Walau Aksa tidak setampan Johan tapi dia memiliki keluarga  kekayaannya melebihi kekayaan orang tua  murid-murid di sini.

Johan meradang. “Apa loe bilang?!”

“Maaf.” Suara lembut itu  mengintrupsi tinju Johan yang akan segera melayang ke muka Dito. Johan seketika melepas kerah Dito. Merapihkan pakaiannya dan berdehem. Dia tidak mungkin bersikap bar-bar di depan gadis pujaannya ini. Salah-salah Seoul bisa saja ilfil dengannya karena bersikap emosional. Dia harus jaga sikap. Johan menjulurkan tanganya. “Hai, Seoul,” ujarnya ramah. “Aku Johan.”

Seoul malah melampaikan tangannya semua anak laki-laki yang berkerumun di dekatnya itu. “Hai, Semua senang bisa berkenalan dengan kalian.”

Johan yang sedikit kaku karena malu lalu menarik tangannya kembali. Dia membalas senyuman Seoul. Dia tidak tersinggung dengan sikap Seoul barusan.  Fika yang gerah dengan kekonyolan mereka lalu membelah kerumunan kasar. “Benar-benar kurang kerjaan,” celanya kesal.

Dia kemudian mendekati meja Aksa. Yang mana Remi masih memusatkan tatapannya Seoul. Dengan sedikit malu dia mencabut coklat yang dari saku rok abu-abu pendeknya. Lalu meletakan coklat itu di meja lalu  mendorong coklat itu ke Aksa. “Ini buat loe.” Dia memang sudah mulai mau mendekati Aksa mulai hari ini. Hatinya sudah berontak untuk tidak terus-terusan menyimpan perasaannya terus.

Aksa tidak menggubrisnya. Dia terus melihat jendela yang basah. Gerimis  sudah berhenti namun langit masih saja muram. Dia memakai headset yang tersambung dengan ponsel di saku celananya. Dia tahu ada yang sedang mencoba berbicara dengan nya. Tapi dia mengabaikannya.

Remi yang kini menyadari kehadiran cewek tomboy di kelasnya ini langsung  bengong. Fika tidak pernah berpacaran dengan siapapun dan gayanya ke laki-lakian, jadi dia pikir gadis itu tidak tertarik untuk berpacaran dengan siapapun. Tapi lihatlah ini, dia sekarang  sedang berusaha mendekati sahabatnya.



















Wanita yang Ku Cintai (End) Where stories live. Discover now