Bab 18

42 3 0
                                    

Bus berhenti di depan rumah makan di daerah Ciluenyi.

Jalan yang macet menambah waktu tempuh perjalanan mereka Yogyakarta. Seharusnya mereka bisa sampai mereka jam enam sore nanti, tapi sepertinya akan memakan waktu lebih lama lagi.
Sudah jam makan siang. Pukul dua belas lewat. Pak Ardy bersama rekan guru yang lain memutuskan untuk singgah di rumah makan lebih dahulu.

Seoul mengamati punggung  Aksa yang turun dari pintu keluar bus bersama antrian agar bisa keluar dari bus. Farras sendiri ada di belakangnya.

Dia terus memikirkan ucapan Farras tadi pagi. Apa benar kalau anaknya menyukainya? Atau pengamatan  Farras salah? Tapi dari dulu  Farras memang selalu tidak main kalau itu menyangkut Aksa dan dia juga tahu kalau Farras tidak akan mengada-ngada untuk masalah sepenting ini. Kalau memang benar anaknya menyukainya sebagai lawan jenis, dia akan membiarkannya sementara waktu. Selama tidak ada pernyataan dari Aksa, dia hanya akan berpura-pura tidak tahu. Dia juga tidak mungkin mengatakan yang sesungguhnya tentang siapa dia sebenarnya, Aksa tidak mungkin percaya. Jiwa yang dapat mendekam dalam tubuh orang lain sulit diterima logika. Orang selogis Aksa, akan membuang mentah-mentah pernyataan yang terdengar konyol itu dan dia tidak ingin Aksa semakin ilfil padanya karena mungkin dia akan dianggap mengalami gangguan kejiwaan.

Dia mendesah. Semoga anaknya tidak benar-benar menyukainya. Semoga asumsi Farras itu salah. Dia hanya ingin dekat dengan anaknya. Dia tidak ingin ada masalah lain yang berpotensi menghancurkan perasaan anaknya sendiri. Itu bisa melukainya hatinya juga.
Mereka masuk ke rumah makan dan memilih meja dekat pintu masuk. Pak Ardy sudah memesan makanan untuk semua anak didiknya, jadi dia dan yang lain tinggal menunggu pesanan datang.

Suasana ramai. Semua meja terisi penuh. Beruntung ini rumah makan ini memiliki dua lantai dan yang memiliki kapasitas yang bisa menampung puluhan  orang. Siswa yang tidak mendapat tempat duduk di bawah bisa makan di lantai atas.

Seoul terus menatap Aksa sayang juga sendu.

Semoga kau tidak menyukai Mama, Nak. Semoga ucapan ayahnyamu tidak benar.

Farras yang duduk di depan Seoul menelaah apa yang ada di kepala gadis itu. Dia terus memandang anaknya dengan roman wajah sendu tapi juga  sayang. Gadis itu sering melihat ke anaknya saat di bus tadi, dan yakin Seoul mempunyai perasaan yang sama dengan anaknya. Tapi kenapa gadis itu sangat terkejut ketika membeberkan fakta tentang perasaan anaknya? Mimik wajahnya itu seolah mengatakan kalau tidak ingin Aksa menyukainya. Tapi dia terus pancaran kasih seperti itu ke Aksa.

Remi merengut dalam hati. Gadis pujaan nya terus menerus memerhatikan Aksa. Ugh, dia iri. Dia bahkan tidak leluasa untuk merayu dan duduk di dekat gadis itu karena Om Farras langsung menarik sikunya dan menyuruhnya duduk di sebelahnya. Kehadiran Om Farras membuatnya sengsara, keluhnya membatin.

“Seoul.”

“Ya,” ujarnya pada Remi.

“Boleh tahu sesuatu?”

“Apa?”

“Apa makanan favorit mu?” Remi lalu sedikit menengadah menebak-nebak apa yang disukai gadis itu. “Kau pasti menyukai kimchi dan makan dengan bumbu pedas,” terkanya dengan kepercayaan dirinya yang tinggi. “Setahu aku makanan di Korea lebih cenderung pedas, ya kan?”

Seoul menggeleng geli. “Aku tidak menyukai pedas.”

“Ooh, pantas kau tidak mencampurkan saos ke dalam bakso kalau kita makan di kantin.”

“Berarti kau lebih menyukai makanan manis? Coklat?”

“He em,” gumamnya mengiyakan. “Aku suka coklat.  Tapi tidak terlalu aku lebih menyukai puding.”

Wanita yang Ku Cintai (End) Where stories live. Discover now