Bab 17

62.2K 5.3K 41
                                    

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Sudah dua bulan lebih sejak Saira menolak Gara sewaktu pesta pernikahan Nadia, mereka tak pernah lagi bertemu. Pun Gara yang biasanya mondar-mandir di rumahnya, justru tak pernah kelihatan batang hidungnya. Bahkan mengirimi Saira chat whatsapp lagi pun tak pernah. Bukannya bagus, akhirnya Saira terbebas dari mantan yang selalu mengusik hari-harinya?

Well, semoga saja memang bagusnya begitu menurut Saira. Tapi entah kenapa kadang-kadang ia diselimuti rasa ingin tahu tentang keberadaan Gara, dan sedikit kecewa ketika melihat kolom chat mereka sepi. Entah deh, mungkin Saira hanya merasa sedikit bersalah dengan kata-katanya waktu itu.

"Mas Gara sekarang tinggal di apartemen. Dia udah nggak Work From Home lagi."

Tiba-tiba Gemi bersuara. Spontan saja Saira mengalihkan pandangan yang tadinya mengarah ke pintu utama ke arah Gemi. Dengan terkejut ia cuma bisa ber-HAH? pertanda bingung akan perkataan Gemi yang tiba-tiba.

"Mbak Saira nyariin mas Gara, kan? Dia sekarang di apartemen, udah masuk kantor lagi." Gemi kembali menjelaskan, dengan senyuman geli.

"S-siapa yang nyariin? Nggak tuh!" Saira mengelak. Mendadak saja wajahnya terasa panas, yang membuatnya lantas memegangi pipinya.

"Keliatan loh kalo mbak Saira ngeliatin pintu terus, kayak berharap mas Gara muncul dari sana." Gemi menampakkan senyum jahilnya.

"Enggak." Saira tetap mengelak, walaupun sebenarnya memang benar apa yang dikatakan Gemi. Bukan hanya suka melirik-lirik ke arah pintu, bahkan ke arah lantai dua tempat di mana kamar Gara berada.

Gemi menggeser duduknya agar lebih menempel ke Saira. Ia kemudian berbisik, "mbak, boleh nanya nggak?"

Saira menoleh dengan menaikkan sebelah alisnya. "Nanya apaan?"

"Tapi jawab dengan jujur, ya." Saira mengangguk walaupun sedikit ragu, karena tidak semua harus dijawab dengan jujur, termasuk rahasia. "Mbak Saira mantannya mas Gara ya?"

Mata Saira seketika membola. Ia meneguk ludahnya sambil memandang Gemi yang justru tersenyum menanti tanggapan Saira.

"Tahu dari mana?"

"Berarti bener dong." Gemi berseru girang. Ternyata selama ini masnya pernah memacari orang yang ia kagumi.

"Udah lama itu. Udah lewat."

"Hm. Apa jangan-jangan mbak Saira kerja di sini karena tahu kalo ini rumah mas Gara?"

"Eh, enggak. Aku malah nggak pernah tahu dari dulu rumahnya dia yang mana. Ini memang kebetulan aja. Suer!"

"Masa sih?"

"Beneran. Dulu Gara emang nggak pernah ngajak aku ke sini, makanya nggak tahu."

Gemi manggut-manggut paham.

"Kenapa nggak mau balikan lagi, mbak?"

Saira diam sejenak. Ia tampak hendak memikirkan alasan yang tepat, namun berakhir dengan jawaban gantung. "Yaaaa. Gitu deh."

"Ih, mbak nggak asik." cemberut Gemi. "Padahal Gemi lebih seneng kalau mas Gara balikan lagi sama mbak Saira, biar kita bisa jadi ipar. Ketimbang sama pacar-pacarnya yang nggak jelas itu. Gemi nggak suka."

Kening Saira mengerut ketika mendengar celotehan Gemi. Pacar-pacarnya, maksudnya?

"Kenapa emang pacar-pacarnya?" tanya Saira ingin tahu.

"Pacar-pacarnya mas Gara itu kek tante-tante semua dandanannya. Gemi nggak suka. Kayak cuma suka sama uangnya Mas Gara aja. Sekali lihat aja, pasti mereka jadi ipar durhaka nanti."

Saira terkekeh geli mendengar penuturan polosnya Gemi.

"Emang banyak pacarnya?" Fix. Ini mah Saira mulai kepo. Padahal tadinya pengen kelihatan nggak mau tahu, tapi jiwa ingin ghibahnya muncul.

"Gemi tiga kali mergokin mas Gara gandengan sama cewek-cewek itu di tengah jalan. Beda-beda pula orangnya."

"Playboy dong dia." Saira jadi ikut geram. Ternyata mantan pacarnya itu playboy. Yang kayak gitu mau minta balikan? Pft.

"Makanya mbak mau ya balikan sama mas Gara, siapa tahu dia bisa tobat dari dosa keplayboyannya. Karena aku tahu, cuma mbak Saira yang waras di antara pacar-pacarnya."

Hah? Kok jadi gini. Harusnya Gemi tuh mendukung sesama cewek supaya terhindar dari spesies buaya darat.

Saira menggeleng, yang seketika membuat bibir Gemi melengkung ke bawah.

****

Memang betul salah satu yang membuat pengendara resah, yaitu sen kiri belok kanan atau sebaliknya. Apalagi kalau yang pakai motor itu ibu-ibu. Seperti yang dialami Saira sekarang. Karena hendak menghindari motor seorang pengendara yang ia kira akan belok ke gang sebelah kiri Saira terjatuh dari motornya.

Ia meringis ketika melihat pengendara yang menjadi penyebab ia terjatuh, malah terus tancap gas tanpa mempedulikan Saira. Entah memang tidak melihat lewat spionnya atau pura-pura tidak lihat. Yang jelas, Saira kesal sekali akan kelakuan pengendara itu.

Baru saja Saira bangkit dan akan mendirikan motor maticnya. Namun ada tangan lain yang lebih dulu memperbaiki posisi motornya. Saira kaget ketika melihat orangitu adalah Gara.

"Kamu nggak papa?" tanya Gara seraya meneliti Saira dengan sedikit cemas.

"N-nggak. Nggak papa." Saira seketika dilanda kegugupan. Rasa sakit di sikunya tak sehebat degupan di dadanya. Duh, kenapa jadi begini?

"Itu siku kamu ada darahnya." Gara menunjuk siku Saira yang tergores aspal.

"Oh. Ini cuma tergores dikit. Nggak masalah."

Gara berdecak mendengar perkataan Saira. Ia menuju ke mobilnya yang tak jauh dari tempat mereka, lantas kembali lagi dengan membawa kotak P3K.

"Eh, nggak perlu gini juga kali. Disiram air juga bakalan mending kok ini," kata Saira hendak menolak bantuan Gara ketika laki-laki itu membuka kotak tersebut.

"Udah, diem." Gara menuntun Saira untuk duduk di tempat duduk bersemen di pinggir gang tadi.

Dengan hati-hati, Gara membersihkan luka Saira dan memberinya perban supaya tidak infeksi. Sementara Gara sibuk mengobati luka kecil Saira, perempuan itu diam-diam mengamati wajah serius Gara yang entah kenapa kelihatan ganteng banget. Apalagi ada banyak perubahan pada penampilan laki-laki itu. Rambutnya kini rapi ala anak kantoran. Pun kumis halusnya yang dulu ada, kini sudah dicukur.

"Kalo kita nggak lagi di pinggir jalan, udah aku cium kamu, Ra."

"HAH?" Saira spontan kaget mendengar suara Gara. Lebih kaget lagi kalau ternyata jarak wajah mereka hanya sejengkal dan Gara menatapnya dalam.

Bersambung....

Kalau Masih Cinta, Bilang (Selesai)Where stories live. Discover now