Bab 4

86.8K 8K 257
                                    

Pernah nggak kalian serasa lagi ditusuk-tusuk hanya dengan tatapan seseorang? Nah ini nih yang sekarang dialami Saira. Dia sudah duduk tenang sambil menikmati hidangan di meja makan keluarga dari siswa privatenya, tapi di depannya ada pria yang sejak tadi curi-curi pandang ke arahnya.

Yah, sejak Gara pulang dan langsung mengenali Saira tadi, Saira berhasil membuat ekspresinya biasa saja. Bukan terkejut seperti yang dilakukan Gara tadi.

"Mas kenal sama Saira?" tanya bu Dinda seraya memandangi Saira dan Gara, begitu pula dengan Gemi yang turut penasaran.

"Iya. Saira ini--"

"Saya dan Gara dulu satu sekolah, Tante. Tapi beda kelas, jadi nggak gitu dekat."

"Ohhh. Kirain dulunya dekat."

Saira tersenyum saja mendengar perkataan bu Dinda, beda dengan Gara yang justru terdiam memandanginya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Nah, aksi Gara yang terus memandangi Saira terus berlanjut sampai mereka selesai makan makan. Dan itu bikin Saira risih, merasa kayak ada yang salah di dirinya. Kepengen pulang secepatnya aja.

"Mas Gara kenapa sih? Dari tadi liatin kak Saira mulu!"

Nah itu, apa yang ditanya Gemi ke Gara persis seperti apa yang tertanya di dalam hati Saira. Bukan cuma Saira aja loh yang menyadari itu, tapi juga Gemi. Mungkin juga bu Dinda tahu kalau Gara dari tadi tengok-tengokin Saira.

"Mas Gara naksir ya sama kak Saira?"

Apaan sih lu, Gem!

Bukannya mendenial pertanyaan Gemi, sudut bibir Gara justru terangkat membentuk senyum manis yang dulunya selalu menawan di mata Saira.

"Saira makin cantik aja sih sekarang. Jadi susah buat nggak nengok."

Apa sih gombal banget. Udah nggak mempan sekarang kata-kata manis buaya satu ini. Saira hampir saja memutar bola matanya, tapi dia tahan. Dia cuma bisa tersenyum masam.

Mengabaikan perkataan Gara, Saira lantas menoleh ke bu Dinda. "Kalau begitu saya boleh permisi pulang sekarang ya, tante. Takutnya nanti makin malam."

"Pulang sendiri? Aku anterin aja." Gara ikut berdiri, bersiap untuk mengantar Saira.

"Saya bawa motor, kok. Nggak usah repot."

"Aku anterin! Bahaya kamu pulang malam gini sendirian."

"Udah, nggak usah. Aku juga udah biasa naik motor malam-malam." Saira kekeuh menolak tawaran Gara yang kelihatan justru maksa dia.

"Iya, Saira. Dianterin sama Gara aja. Biar motor kamu tinggal aja di sini. Besok kan masih jadwal kamu ngajar lagi kan, nah besok bisa tuh motornya dibawa pas pulangnya sorean." Kali ini bu Dinda yang menawarkan.

Kenapa sih nggak ada yang bisa ngertiin maunya Saira sekarang tuh apa. Sebenarnya bukan cuma tentang Saira yang bawa motor kemalemam, tapi dia nggak mau nantinya di dalam mobil Gara cuma berdua. Itu bakalan canggung banget.

"Nanti ngerepotin, tante."

"Enggak ngerepotin. Biar kamu aman aja pulang malamnya. Di luar tuh banyak tukang begal, itu bikin tante khawatir, tau nggak."

"Tenang aja, Tan. Yakin deh, besok aku datang ke sini lagi pasti masih dalam keadaan utuh."

Bu Dinda pun cuma  bisa tersenyum sambil mengangguk. Kalau memang Saira tidak mau, ya tidak usah dipaksa. "Ya sudah hati-hati ya kalau begitu."

"Iya, Tante. Saira pulang, ya."

Ketika Saira baru saja akan menyalakan motornya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan satu tangan yang kini memegang tangannya. Itu tangan Gara. Buat apa nih cowok ngikutin sampe ke luar rumah.

"Bisa ngomong bentar?"

"Kapan-kapan aja, ya. Mau pulang dulu." Saira tersenyum maksa, dan tetap memutar motornya agar berhadapan dengan pintu keluar pagar.

Gara justru menghadang Saira setelah cewek itu menyalakan motornya.

"Sejak kapan kamu balik ke sini lagi? Terakhir yang kutahu, kamu tinggal di Medan dan nggak pernah pulang ke sini lagi."

Terakhir di Medan itu setahun yang lalu. Sejak Saira lulus SMA, ia langsung pergi kuliah di salah satu PTN di Medan dan jarang sekali pulang kampung ke Jogja, dan sempat juga bekerja di sana selama tiga tahun. Selama kurang lebih tujuh tahun tinggal di Medan, Saira hanya dua kali pulang kampung. Kali ini Saira benar-benar tinggal lebih lama lagi di Jogja.

Sayangnya, Gara sepertinya memang benar-benar tidak tahu tentang Saira selama ini. Gara bilang Saira nggak pernah pulang, padahal pernah tuh meskipun cuma dua kali dalam tujuh tahun. Kalau saja Saira tidak kebetulan bekerja di rumah mereka dan nggak ketemu sama Gara, pasti sampai sekarang Gara nggak tahu keberadaan Saira.

Saira, Saira. Emang apa sih yang kamu harapkan dari seorang Gara. Dia nggak peduli juga tentang kamu. Apa yang dia tahu tentang kamu? Dulu mah jadian cuma jadi pelarian aja.

"Udah lama sih. Udah setahun." Saira menjawab dengan sambil tersenyum tipis. Meskipun dia benci mantan, tapi mencoba untuk bersikap biasa saja dan seperti tak pernah ada yang terjadi di antara mereka.

"Kenapa nggak bilang kalau udah balik ke sini?"

YA TERUS KALAU AKU BILANG AKU UDAH BALIK KAMPUNG, SITU MAU NGAPAIN EMANG? MAU BIKIN ACARA SUKURAN?

Emosi nih hatinya Saira. Buat apa sih bilang-bilang kalau mereka saja sudah putus kontak. Aneh emang si Gara ini. Atau mungkin itu cuma nanya basa-basi kali, ya. Nggak ada topik lain yang mau dibahas.

"Ngapain mesti bilang, sih? Emang kamu siapa?" balas Saira santai. "Ya udah ya, Ntar keburu makin malam aku pulangnya. Kamu bisa minggir dikit?"

Dengan berat hati, Gara bergeser minggir dan membiarkan Saira melajukan motornya.

Bersambung….

Kalau Masih Cinta, Bilang (Selesai)Kde žijí příběhy. Začni objevovat