Bab 5

89.4K 7.7K 190
                                    

Gemilang Andriani  sedang duduk di sofa ruang tengah sambil berselancar di sosial  media. Datanglah Gara Andarta yang kini mengusik keseriusan Gemi dalam scrolling sosmed.

"Lagi nungguin Saira, Gem?" tanya Gara tanpa basa-basi. Begitu dia menjatuhkan pantatnya ke sofa, dia langsung buka suara.

"Hmm." Gemi hanya berdehem, pertanda ia mengiyakan pertanyaan Gara. Pandangannya tetap tertuju pada layar ponselnya.

Oh. Gara cuma ber-oh. Ia lantas menyalakan televisi, yang mana hanya sebagai pelengkap suasana ruang tamu yang sunyi. Sesekali Gara menengok ke arah pintu masuk rumah, siapa tahu ada yang tiba-tiba nongol.

Benar saja. Tak sampai lima menit kemudian, bel pintu berbunyi.

"Aku aja yang buka." Gara langsung berdiri ketika Gemi hampir saja bergerak untuk membuka pintu. Gemi pun dengan senang hati membiarkan Gara buka pintu tanpa perlu debat sama Gemi. Tumben tuh mas-mas ngalah soal buka pintu.

Ketika pintu dibuka, Gara tersenyum lebar ke arah Saira yang justru tak menunjukkan ekspresi apapun. Ditambah lagi Gara malah dicuekin, karena Saira langsung melenggang masuk gitu aja ke dalam rumah.

Oke. Nggak papa. Mungkin Gara dicuekin karena Saira merasa nggak enak telat datang. Terus buru-buru masuk deh, dan berujung Gara malah dicuekin. Iya, mungkin begitu.

Saira dan Gemi belajar di ruang tamu, keduanya duduk beralaskan karpet supaya lebih dekat dengan meja. Gara juga memilih tiduran di salah satu sofa ruang tamu. Nggak mau gangguin acara belajar-mengajar dua orang di sana, Gara memilih sibuk gaming dengan telinganya terpasang earphone.

Pas Gara lagi asik-asiknya ngegame, tiba-tiba telinganya ditarik. Pas ia menoleh ke samping ternyata ada mamanya yang menatapnya sengit.

"Jangan di sini. Keganggu nanti mereka belajarnya."

"Kan ngga bersuara aku, Ma. Ih. Lagian mereka aman aja tuh, nggak protes ke Gara." kata Gara seraya mengusap-usap telinganya yang dijewer tadi. Merah pasti tuh.

"Alesan! Ayo ke sana. Mama mau ngomong bentar."

Bu Dinda berjalan ke arah meja makan yang letaknya lumayan jauh dari ruang tamu. Namun masih bisa terlihat lantaran tak ada dinding pemisah di antara ruangan itu. Gara mengikuti langkah bu Dinda.

"Mama punya teman, anaknya masih single, pinter jug--"

"Kan, udah kuduga. Pasti mau bahas ini lagi."

"Tuh tau!" balas bu Dinda sengit. "Nggak usah basa-basi, mama mau kamu temuin anaknya teman mama itu."

"Ngapain sih? Nggak mau ah. Nggak inget apa waktu itu aku disiram air pas lagi blind date."

"Ya itu karena kamunya cari gara-gara, Gara!" mendengar perkataan mamanya, Gara malah ketawa sama tiga kata terakhir. Gara-gara Gara. "Ih, malah ketawa! Pokoknya mama nggak mau tahu, kamu harus temuin  dia."

"Nggak!"

"Dijamin kamu nggak bakalan nyesel. Dia itu cantik, pinter, cocok sama kamu."

"Semuanya juga mama bilang gitu."

"Ayo dong, kamu itu udah dua delapan loh, Ga. Nggak kepikiran apa mau kasih mama cucu?"

"Kan udah dapat dari kak Ghea."

"Tapi mama mau juga dari kamu."

Gara mendengus pelan. Kenapa sih orang tua itu permintaannya makin lama makin aneh.

"Lagian Gara udah punya calon sendiri."

"Halah! Kayak kamu pernah serius aja sama perempuan."

Bu Dinda tahu kalau Gara sering gonta-ganti pacar, tapi Gara nggak pernah mau mengenalkan satu pun pacarnya ke keluarga. Siapa yang tahu kalau pacar-pacar Gara itu nggak ada yang bener. Makanya bu Dinda ngotot sekali menjodohkan Gara agar tidak terus-terusan mempermainkan hati banyak wanita di luar sana.

Gara menggaruk dahinya, matanya lantas menoleh sebentar ke arah ruang tamu di mana di sana ada Saira yang tengah serius mengajari Gemi.

"Kali ini aku serius."

"Yakin?"

Gara melirik sekali lagi ke ruang tengah dan menjawab, "yakin."

"Oke. Mama bakalan berhenti jodoh-jodohin kamu, asalkan dalam waktu seminggu kamu harus kenalkan perempuan yang kamu bilang calon kamu itu ke mama."

"Seminggu? Cepat amat. Sebulan dong, Ma."

"Lha, katanya sudah ada calon. Itu berarti hubungan kalian sudah mantap, jadi nggak sulit dong buat ngenalin dia ke mama sama papa."

"Bukan gitu, ma."

"Ya terus gimana? Yang jelas dong kamu."

"Gara masih berjuang buat dapatin dia."

"Oh. Masih pedekate maksudnya." Gara mengangguk, membenarkan perkataan bu Dinda. "Tumben pedekate segala. Bukannya kamu langsung tancap gas sama tuh cewek-cewek, terus diputusan nggak lama kemudian."

Gara meringis mendengar sindiran bu Dinda. Meskipun mamanya jarang melihat Gara bersama pacarnya, tapi Gemi yang selalu siap lapor setiap kali Gara kepergok jalan sama cewek lain. Kadang juga Gemi sering langsung ngangkat telepon Gara dan selalu ditelepon sama cewek yang beda-beda.

"Mama nggak yakin kamu lagi serius punya hubungan."

"Kali ini serius. Janji!"

Sudur bibir bu Dinda terangkat. "Oke. Mama tunggu sebulan. Kalau enggak, kamu harus siap sama pilihan mama."

Oke. Gara mengangguk. Ia sekali lagi melirik ruang tamu dan memandang agak lama pada satu titik.

***

"Kenapa jadi canggung gini, ya?"

Setelah agak lama dua orang yang duduk di teras ini diam, akhirnya Gara bersuara. Untuk mencairkan suasana, namun sama saja. Saira tetap memasang wajah santainya dan tersenyum tipis.

Well, Gara berhasil menahan Saira untuk mengobrol sebentar di teras rumahnya, dengan alasan matahari belum terbenam dan sudah seharusnya mereka ngobrol-ngobrol dikit sebagai teman lama, atau mungkin... sebagai mantan.

"Entah ini karena kita udah lama nggak ketemu, atau emang kamu lagi berusaha buat hindarin aku?"

Apa yang tertanya di dalam hati Gara seketika terlontar. Ia tak butuh basa-basi lagi. Dia harus mendapat penjelasan yang membuatnya bertanya-tanya selama bertahun-tahun.

"Karena aku merasa kamu kayak punya masalah sama aku. Padahal dulunya kita putus baik-baik, dan kamu yang minta itu."

Terucap sudah apa yang selama ini membuat hati Gara sesak. Saira yang sekarang menurutnya berbeda dari yang dulu. Dulu sewaktu mereka masih pacaran, Saira murah senyum dan selalu punya cerita untuk dicurahkan ke Gara. Mereka putus pun karena Saira yang meminta, katanya kepengen fokus sama ujian nasional dan ujian masuk PTN. Gara juga turuti itu. Dan semenjak mereka lulus SMA, mereka betulan pisah. Putus kontak.

"Waktu lulus SMA, kamu langsung ganti nomer hape sampe kamu susah banget dihubungi. Aku sampe tanya ke teman-teman kamu, tapi mereka nggak ada yang mau ngasih. Pelit."

"Lagian buat apa sih kontakan lagi, kan udah jadi mantan."

Gara membulatkan bola matanya ketika mendengar lontaran Saira. "Kan putusnya baik-baik, jadi wajarlah harus masih berhubungan baik-baik. Atau kamu tipe orang yang nggak mau temenan lagi sama mantan, ya?" Gara bertanya dengan nada menggoda.

"Iya."

"Kamu tahu nggak, dengan sikap kamu yang begini, cuekin aku. Aku serasa lagi punya utang, aku kayak mikir, dulu aku pernah punya salah apa sih?"

Ada. Kamu ada salah dulu. Pikir Saira.

Tapi Saira nggak mengatakan apa yang di pikirannya. Biarkan Gara menemukan atau menyadari apa yang menjadi salahnya dulu.

Keduanya pun terdiam beberapa saat. Hari sudah semakin sore. Saira menolehkan pandangannya ke arah lain, entah itu ke bunga-bunga di depan teras atau bunga mangga di sana yang buahnya sudah mulai banyak. Asalkan jangan menatap Gara di depannya yang kini memandanginya dengan lekat dan tajam. Hingga akhirnya, Saira berani menoleh ke arah Gara ketika pria ia itu mencetuskan pertanyaan yang tak terduga bagi Saira.

"Ra, balikan yuk."

Bersambung.…

Kalau Masih Cinta, Bilang (Selesai)Where stories live. Discover now