Bab 2

98.4K 7.7K 74
                                    

Saira senang banget, karena akhirnya ia mendapatkan pekerjaan sampingan sebagai guru privat. Ketimbang dia di rumah terus, tidak ada kerjaan karena sekolah diliburkan.

Saira ini seorang guru, jadi ia mengajar dari rumah secara online. Tapi waktu Saira masih saja terlalu senggang, dan lebih baik mengisinya dengan kerjaan lain. Hitung-hitung tambah duit buat beli skin care.

Ia sampai di rumah tempatnya akan bekerja nanti. Saira pun mencocokkan alamat rumah yang diberikan calon siswa privatnya. Begitu pas, ia lantas menghampiri satpam yang sedang berjaga.

"Ada perlu apa, Bu?"

Belum ditanyain sama Saira, sudah ditanya dulu sama pak satpam yang kira-kira berusia pertengahan tiga puluhan.

"Itu... saya calon guru privat di sini."

"Oh iya, tadi nyonya besar udah sempat pesan," kata satpam itu seraya tertawa pelan. "Sebelum masuk, cek suhu dulu ya, Bu."

Saira mengangguk lantas mendekatinya yang kini mengarahkan thermo gun ke dahinya.

"Aman, Bu. Silahkan masuk. Tapi cuci tangan dulu nggak papa ya, Bu."

Saira ber-oke, lantas menuju tempat pencucian tangan yang sudah tersedia di samping pos satpam. Memang betul-betul lengkap nih persediaannya. Ya maklum sih, yang punya rumah orang kaya. Dari luar saja sudah terlihat kinclong bikin silau, tuh halaman rumahnya terawat banget. Jadi nggak heran mereka nggak mau tamunya datang bawa virus penyakit, apalagi di musim pandemi sekarang.

Saira menekan bel pintu rumah itu dengan tenang. Ia tak begitu gugup, karena sudah punya pengalaman bekerja dan sering berada di bawah tekanan. Jadi untuk menghadapi hal semacam ini, mestinya tak perlu membuatnya takut.

"Siapa?" tanya seorang wanita berambut lurus cantik yang tengah menggendong kucing putih gendut. "Saira, ya? Yang mau jadi guru privat?"

Belum sempat Saira menjawab pertanyaan 'siapa' wanita setengah abad itu, justru sudah terjawab sendiri.

"Benar, itu saya, Bu."

"Ayo, ayo. Masuk! Duduk dulu. Mbook, mbok Darni!" Suara wanita itu kencang banget manggil asisten rumah tangganya.

"Ya, Nya. Ada apa?"

"Bikinin minum," katanya sembari menunjuk Saira.

"Siap, Nya!"
Wanita yang kira-kira berusia lima puluhan itu--menurut penglihatan Saira--lalu duduk di sofa sebelah Saira. Yakin banget sih Saira kalau wanita itu ibu dari anak-anak di rumah ini.

"Saira Sarasvati?"

"Benar, Bu."

"Oke, boleh lihat CV?"

Saira pun langsung memberikan CV yang ia bawa. Sebenarnya ia sudah melampirkan CV itu di situs lamaran online waktu itu, tapi tetap saja perlu membawa aslinya ke calon bosnya.

Sembari wanita paruh baya itu memeriksa berkas-berkasnya, Saira menyempatkan matanya untuk melihat-lihat kecantikan dalam rumah itu. Benar kan dugaan Saira di awal, rumahnya tuh berkilat semua, bersih, kayak nggak ada debu. Lalu kening Saira mengerut kala melihat foto keluarga yang terpasang besar sekali di atas  televisi. Pigura itu menampilkan lima orang, yang Saira yakin dua orang tua dan tiga anak. Tapi ada satu sosok di sana yang kayaknya Saira kenal.

"Saira?"

Saira tersadar ketika dipanggil. Ia buru-buru memalingkan wajahnya dari pigura besar itu ke arah nyonya besar. Tapi tampaknya sang nyonya besar menyadari kalau sejak tadi Saira memandangi foto besar itu. Buktinya, nyonya besar sekarang menatap Saira sambil lirik-lirik dikit ke foto itu.

"Itu foto saya, bapak dan anak-anak. Itu ada Ghea, Gara, dan Gemilang. Nah, nanti yang kamu ajar tuh anak bungsu saya tuh. Yang paling kecil itu. Si Gemi."

Saira terkekeh ketika nyonya besar berucap begitu, seraya menunjuk-nunjuk foto besar itu.

"Oke. Karena CV kamu bagus. Jadi sekarang saya mau lihat cara kamu ngajarin anak saya," kata nyonya besar. Begitu sang ART datang bawa minuman, nyonya besar nyuruh lagi.

"Mbok, panggilin Gemilang, mbok. Tuh anak udah diwhatsapp turun ke mari, malah tetep aja di kamar."

Sembari menunggu, mereka diam. Nyonya besar asik buka handphonenya sambil sesekali cekikikan. Ya namanya juga sudah di jaman gini, handphone memberi candu siapapun. Mulai dari anak kecil belum sekolah sampe ibu-ibu gaul. 

Tapi yang jadi masalah buat Saira tuh, masih dengan foto besar di depannya itu. Ia masih ingat sekali salah satu sosok yang ada di sana. Orang yang sempat ia hindari bahkan putus kontak sampai sekarang, meski dulunya mereka sempat dekat. Melebihi teman. Istilahnya sih pacar. Yah, itu Gara. Mantannya waktu SMA dulu. Fyi nih, waktu pacaran dulu, Saira nggak pernah diajak Gara ke rumahnya, sekarang malah tahu rumahnya secara nggak sengaja.
Itu berarti sekarang dia ada di rumah mantannya, dan akan bekerja di sini.

Sialan emang! Ya kali, dia batal melanjutkan kontrak kerja di sini demi cowok itu. Tapi moga-moga ya, Gara jarang ke rumahnya. Siapa tahu Gara sudah punya rumah sendiri atau bahkan tinggal di luar dan membuatnya jarang pulang ke rumah. Pulangnya juga pas weekend, jadi nggak bakalan ketemu sama Saira yang pastinya nggak punya jadwal ngajar privat di hari sabtu atau minggu. Semoga saja memang begitu. Jadi Saira nggak perlu ketemu cowok itu.

Karena kan, ketemu mantan tuh pasti bakalan awkward banget. Ya nggak sih?

Tak berapa lama, turunlah seorang perempuan muda bertubuh mungil, dengan rambutnya yang berantakan. Ia berjalan dengan malas-malasan dan duduk di samping ibunya. Ia meletakkan buku yang dibawanya di atas meja.

"Heh! Jangan males gitu mukanya." Nyonya besar mencubit lengan Gemi yang langsung membuat si empunya meringis dan mengusap-usap lengannya. Hal itu pun membuat Saira ketawa pelan. "Itu guru privatnya datang. Bagus dikit mukanya bisa kali, Gem. Sana belajar! Biar masuk PTN."

Gemi pun menegakkan tubuhnya, kemudian melihat Saira dan tersenyum. Ia mendadak malu sendiri dengan penampilannya yang agak berantakan.

"Saya Gemilang, Miss. Kalo miss namanya siapa?"

"Saira. Panggil kak Saira aja, ya."

"Oke sip."

Tak berapa lama, mereka pun melakukan proses ajar-mengajar, di mana sang nyonya besar ikut mengawasi sekaligus melihat bagaimana cara Saira mengajar. Oke, berhenti sebut nyonya besar terus di setiap narasi. Sekarang sebut dia Bu Dinda. Karena memang itu namanya.

"Makasih ya, kak, udah diajarin. Enak banget diajarin sama kak Saira. Gampang ngertinya."

Saira tersenyum mendengar perkataan Gemi begitu mereka selesai belajar, yang kira-kira memakan waktu hampir dua jam. Padahal sih harusnya waktunya cukup satu setengah jam. Tapi karena saking asiknya, jadi nggak terasa waktunya.

"Saira mau langsung pulang?"

Saira mengangguk, menanggapi pertanyaan Bu Dinda.

"Sekalian makan malam di sini, yuk.”
Saira melirik jam dinding besar yang ada di rumah itu yang ternyata sudah menunjukkan pukul lima sore. Masih ada sekitar dua jam lagi buat makan malam. Terus Saira mau ngapain coba selama dua jam itu di sini?

"Lain kali saja ya, Bu."

"Yo wes. Ke sini tadi naik apa?"

"Motor, Bu."

"Kirain naik angkot. Eh, panggil tante aja biar enak. Ini manggilnya Bu, dikira malah aku gurumu."

Mendengar candaan bu Dinda, Saira pun terkekeh. "Oke, Tante."

"Ya udah. Hati-hati ya di jalan. Jangan ngebut."

"Siap, Tante!"

Bersambung...

Kalau Masih Cinta, Bilang (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang