Bab 13

70.8K 6.4K 141
                                    

Ini adalah hari terakhir Saira mengajar Gemi di tahun 2020. Karena sebentar lagi akan libur menyambut natal dan tahun baru. Kali ini mereka belajar di rooftop rumah keluarga Andarta. Mereka duduk lesehan di karpet berbentuk rumput dengan meja lipat di tengah mereka. Cuaca hari ini mendung, sehingga terasa sangat sejuk. Mungkin sebentar lagi hujan pun datang.

Seperti biasa, Saira selesai mengajar dalam waktu kurang lebih dua jam. Namun, Gemi lebih masih pengen ngobrol sama Saira, sebelum cewek  itu pulang. Kini mereka berpindah duduk ke kursi ayunan. Kian hari keduanya semakin dekat, bahkan Gemi bilang Saira tuh sudah seperti kakaknya. 

"Mbak Saira ada rencana liburan ke mana?" tanya Gemi pada Saira.

Pandangan Saira yang tadinya menikmati awan mendung, kini beralih pada Gemi. "Rencananya sih mau ke rumah nenek, di Medan. Tapi terpaksa ditunda dulu karena masih pandemi."

Gemi menghela napas pendek. "Padahal Gemi juga pengen liburan ke Bangkok. Tapi kayaknya ketunda juga."

Keduanya sama-sama menghela napas. Yah, bisa dibilang liburan akhir tahun kali ini bakalan suram. Tidak bisa kemana-mana.

"Mendung banget ya hari ini. Tapi enak sih, jadi adem di sini."

Saira dan Gemi spontan kaget ketika mendengar suara lain yang tiba-tiba muncul. Ternyata Gara baru saja ikut naik ke rooftop. Sebetulnya, Gara sudah hapal sekali jadwal Saira selesai mengajar. Itu sebabnya, sejak tadi ia menunggu Saira turun begitu pekerjaannya selesai. Namun sampai setengah jam Saira dan Gemi belum juga turun, Gara akhirnya berinisiatif untuk menyusul naik.

"Mas Gara kenapa sih, akhir-akhir ini jadi suka di rumah terus?" decak Gemi. Padahal ia baru saja ingin lanjut curhat dengan Saira perihal percintaan. Eh, abangnya malah ganggu.

"Kenapa? Nggak suka, hah?"

"Kan biasanya Mas Gara seringnya di apartemen. Pulangnya dulu jarang. Sekarang malah ke sini terus."

"Suka-suka aku lah, Gemi. Lagian sekarang ada yang lebih enak ditengok ketimbang dulu." Gara tersenyum, lebih tepatnya kepada Saira yang justru berdecak kecil. "Mendung-mendung gini, enaknya ngopi nih." Kata Gara lagi, seakan memberi kode.

Namun, tak ada tanggapan dari kedua cewek di depannya. Baik Saira maupun Gemi, kini sibuk bermain hape.

"Gem, buatin kopi dong sana." suruh Gara seraya menendang pelan kaki Gemi.

"Gemi kan nggak bisa bikin kopi. Suruh Bik Arsih aja sih."

"Ya biar bisa, makanya bikinin sana." Gara tetao ngotot menyuruh Gemi.

Akhirnya, Gemi pun beranjak dari duduknya. "Tapi kalau nanti gulanya keganti sama Garam, bukan salah Gemi ya."

"Terserah. Udah sono, bikinin!"

"Mbak Saira mau sekalian dibikinin teh, nggak?" Beda dengan Gara, Gemi malah menawari Saira.

"Nggak usah. Aku juga mau pulang nih."

Saira hendak bangun dari duduknya, namun malah tertahan karena Gara menarik lengannya sehingga cewek itu kembali duduk. Sedangkan Gemi kebingungan melihat dua orang dewasa di sana kini bertatapan tajam. Dengan canggung, Gemi langsung cepat-cepat pergi dari sana. Kayaknya nggak usah bikin kopi lah, soalnya bukan kopi yang dibutuhin mas Gara sebenarnya.

***
"Ngapain lagi sih?" Saira melepaskan cekalan tangan Gara.

"Nyantai dong. Kita ngobrol-ngobrol bentar kan bisa."

"Nggak bisa! Aku mau pulang, bentar lagi hujan."

"Nanti aku anterin pake kendaraan yang ada atapnya. Ketimbang kamu pulang sekarang, terus di tengah jalan kena hujan. Sakit loh nanti." Entah Gara perhatian atau memang lagi modus.

Saira membuang napas panjang. Ia pun meletakkan tangannya di depan dada dan bersandar pada sandaran kursi.

"Ngomong-ngomong, yang kemaren itu aku liat kamu di kafe. Itu yang kamu bilang calon suami kamu?"

Oh. Betul, yang mereka ketemu namun tak saling menyapa di kafe tiga hari yang lalu.

Saira pun berdeham pelan lantas menjawab dengan suara tenang yang dibuat-buat. "Iya."

Gara pun tampak manggut-manggut. "Masih gantengan aku sih."

Spontan bola mata Saira memutar, karena mendengar pengakuan narsis cowok yang satu ini.

"Eh, beneran calon suami nggak tuh? Bukan bayaran, kan?"

Ya ampun, Gara nih mulutnya memang cabe banget. Dari dulu sampai sekarang, nggak berubah-berubah.

"Beneran lah."

"Ah masa?"

"Di dapur."

Hening sedetik. Namun tiba-tiba tawa Gara pecah. Ia tak menyangka bahwa Saira malah menyambung guyonannya. Sementara Saira, malah salah tingkah. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Bisa juga kamu ngelucu, ya." kata Gara masih di sela-sela tawanya.

Tangan Gara spontan mencubit pipi Saira, yang mana membuar cewek itu langsung meringis dan memukul-mukul tangan Gara agar terlepas.

"Iiih, sakit!"

Keadaan kembali hening. Gara menghentikan tawanya, kini ia menatap Saira dengan serius.  Sedangkan Saira yang tadinya mengusap-usap pipi kini menjadi salah tingkah, karena ditatap sedemikian dalam oleh Gara. Rasanya kepengen colok mata cowok itu.

"Jangan jadiin orang lain jadi pelarian, Ra. Itu kamu nggak ada bedanya sama aku yang dulu."

Saira melotot, seketika gelagapan. "Pelarian apaan sih? Nggak usah sok tau, ya."

"Ya tahu lah. Karena kamu cintanya masih sama aku, ya kan?"

Saira seketika menghembuskan napas kuat. Cowok ini betul-betul terlalu percaya diri sekali.

Nggak mau terlibat dengan obrolan yang nggak jelas, Saira pun meraih tasnya dan bersiap hendak beranjak dari sana. Namun, belum juga ia berdiri, Gara langsung menariknya kembali. Saira langsung gelagapan karena kini jarak wajahnya dengan Gara menjadi dekat. Bahkan hidung mereka nyaris bersentuhan.

Saira sudah akan menjauhkan wajahnya dan mendorong dada Gara, namun cowok itu malah semakin menariknya mendekat. Hingga sedetik kemudian, Saira merasakan bibirnya tersentuh dengan milik Gara. Jelas saja dia kaget, bahkan matanya masih membola ketika Gara mulai menggerakkan bibirnya dengan lembut.

Spontan saja Saira melepaskan dirinya dari Gara. Ia baru saja akan memaki sang mantan, namun nggak sempat lantaran Gara kini menarik belakang lehernya dan menyatukan kembali bibir mereka. Semakin Saira hendak menarik dirinya kembali, Gara justru semakin menciumnya dengan menuntut, seakan tak ingin membiarkan cewek itu lepas begitu saja.

Hingga akhirnya, perlawanan Saira lemah. Ia kini memejamkan matanya, dan membiarkan Gara menelusuri tiap inci bibirnya. Saira tak tahu apa yang terjadi pada dirinya saat ini. Yang jelas jantungnya mendadak berdisko dengan brutal, bahkan ia seperti merasakan kupu-kupu beterbangan di perutnya.

Gara meraih pinggang Saira agar cewek itu semakin mendekat padanya. Tentu saja Saira agak kaget dan akan mendorong Gara lagi, namun cowok itu justru tetap menahannya, sambil mencumbu bibir Saira dengan lembut.

Tetesan air hujan seketika mengenai kulit mereka berdua. Saira spontan mendorong Gara dengan kuat sehingga ciuman mereka terlepas. Ia langsung bergegas dari sana, meninggalkan Gara yang justru terpaku di tempat. Membiarkan air hujan membasahinya.

Bersambung….

Kalau Masih Cinta, Bilang (Selesai)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें