[Special Extra] Q Time

Start from the beginning
                                    

"Mau ke rumah Laura, Pa."

Papa tampak tertegun mendengar jawaban Dylan . "Kamu ... jangan pulang kemalaman."

Dylan bukan anak kecil yang harus diingatkan tentang jam malam. Di satu sisi, Dylan juga cukup dewasa untuk mengetahui makna ucapan papa tersebut. Jujur saja, Dylan merasa malu sekarang. Bagaimanapun ia adalah seorang laki-laki. Meski ia dididik tata krama sejak kecil, selalu menjadi juara kelas, bahkan sampai mendapat beasiswa di luar negeri, pasti ada keinginan di dalam hati kecilnya untuk bisa bermesraan dengan Laura.

Dan ia malu karena sepertinya papa menyadari hal itu.

Dylan berdeham sebelum menjawab. "Oke, Pa."

Bego! Dylan mengumpat dalam hati setelahnya. Harusnya ia menjawab "iya". Itu terdengar lebih alami daripada "oke". Jawaban Dylan itu seolah menggambarkan betapa gugupnya Dylan saat ini. Padahal siapa tahu Laura memang sekadar memintanya datang untuk teman mengobrol, kenapa Dylan harus segugup ini?

Menghindari rasa malunya, Dylan segera berpamitan kepada papa. Ia berjalan cepat-cepat menuju garasi dan mengeluarkan mobilnya. Setelah menginjak usia tujuh belas tahun, Dylan langsung membuat SIM agar tidak lagi memakai alasan konyol itu. Lagipula ini juga membuatnya lebih nyaman kalau ingin pergi ke manapun.

Ya, meskipun Dylan akui, menjadi langganan abang ojol merupakan pengalaman yang menarik untuknya.

***

"Ng ... jadi gimana?"

Laura tidak langsung menjawab, hanya tersenyum lebar sampai memamerkan gigi putihnya. "Ya ... begini."

"Selamat datang!"

"Welcome, Mas Dylan!"

"Welcome to the party, Bro!"

Mereka bersahutan menyambut Dylan di ruang tengah. Dylan harusnya tahu sesuatu sedang terjadi ketika melihat mobil Radit terparkir di halaman rumah Laura. Kemudian, tidak hanya Radit yang sedang duduk manis di sofa ruang tengah, melainkan ketiga teman SMA Laura lainnya dan juga Nami. Dylan benar-benar malu akan pemikiran konyolnya sekarang.

"Maaf, aku nggak bilang dari awal," ucap Laura, yang membuat Dylan mengalihkan pandangannya dari orang-orang di sana.

"Ah, iya, aku cuma ... kaget." Dylan menjawab dengan jujur. Untuk menghilangkan kekhawatiran Laura, ia pun mengusap kepala cewek itu. "Aku kira kamu kenapa-kenapa karena ditinggal papa."

Nami pun muncul dan langsung memeluk Laura dari belakang. "Tadinya aku mau ngajak Mas duluan, eh kata Mas Radit nanti nggak surprise."

"Surprise?"

"Kita kemping di rumah Laura! Yuhu!" Alvin berdiri di atas sofa dan menjawab penuh semangat. Mou, yang duduk di sebelahnya pun langsung memukuli kakinya, menyuruh cowok itu duduk kembali.

Dylan mengerutkan alisnya. "Jadi kalian mau nginep di sini?"

"Kamu boleh ikut kok," ucap Laura, lalu meraih tangan Dylan. "Selain pacar, kamu 'kan teman aku."

Entah kenapa ucapan sederhana itu membuat hati Dylan lega. Ia pun mengikuti langkah kecil Laura menuju sofa. Ternyata mereka baru saja ingin menonton film horor bersama. Di atas meja sudah tersedia lengkap minuman kaleng, camilan beraneka rasa dan bentuk, sampai dua loyang pizza. Dylan duduk di atas sofa bersama Laura dan Nami. Sedangkan yang lain duduk di lantai beralas karpet bulu tebal.

Film diputar, Alvin pun mematikan lampu utama—katanya biar atmosfernya semakin terasa. Film yang dipilih kali ini adalah film horor Thailand yang baru dirilis awal bulan ini di platform film berlangganan. Dylan tidak terlalu excited. Bukannya tidak suka, hanya saja kenangan buruk kencan pertamanya selalu terbayang di kepala Dylan begitu menonton film horor. Rasanya Dylan ingin mengulang masa itu dan memberikan Laura film romantis dengan sejuta gombalan agar cewek itu senang.

VillainWhere stories live. Discover now