IBH-36

12.8K 508 62
                                    

Jangan lupa vote dan comment ya!♥️

Selamat membaca😁

Jemari lentik itu mulai bergerak, dan kelopak matanya pun ikut terbuka secara perlahan.

Gelap.

Itulah yang menyambut kesadaran Lilya. Keheningan di ruangan ini pun ikut menyambut kesadarannya. Sangat jelas diingatannya, setelah pernyataan Dokter tersebut yang menyatakan bahwa dirinya hamil, ia merasa oksigen di sekelilingnya menipis. Kini dadanya terasa sesak, pikirannya kalut. Untuk bergerakpun rasanya sangat sulit. Lily hanya diam membisu.

Perawat yang menyadari jika pasiennya sadar, memecah keheningan di ruang pemeriksaan.

"Dokter Larissa! Pasien sudah sadar." ujar Perawat tersebut.

Dokter Larissa menghampiri Lily, kemudian memeriksa kembali keadaan wanita hamil yang berada di hadapannya tersebut.

Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap kesehatan ibu dan janin yang dikandung, Dokter Larissa memanggil Amy yang terlihat nampak khawatir di tempatnya. Ia belum berani mendekati Lily, takut jika wanita itu akan membencinya.

Mendengar namanya dipanggil, Amy menghampiri secara perlahan. Berbeda dengan reaksi yang ditunjukkan oleh Lilya, gadis itu kembali menutup matanya saat mendengar nama pelayan pribadinya tersebut.

Amy menatap Lily dengan sayu. Lily pasti membencinya. Mendengar namanya saja wanita muda itu sepertinya enggan.

"Sepertinya Lily harus menjalani perawatan selama beberapa hari di rumah sakit, kesehatan Lily dan kandungannya melemah. Ia harus mendapatkan perawatan khusus agar kesehatannya kembali normal."

Ucapan sang dokter bukan hanya disampaikan pada Amy, namun sepertinya secara tidak langsung untuk Lily juga. Lily mendengarnya dan ia terkekeh pelan.

"Biarkan saja begini. Kalaupun kesehatanku melemah, biarkan saja aku mati!" tegas Lily.

Mendengar penuturan Lily, lantas membuat Amy menangis. Ia merasa tidak tega dan juga bersalah. Mungkin, jika dari awal jujur semuanya tidak akan menjadi lebih rumit seperti ini.

"Tenanglah, Lily." Ujar Dokter Larissa. "Aku mengerti bagaimana perasaanmu saat ini." Lanjutnya menenangkan Lily, hormon wanita hamil memang sangat sensitif.

Lily tertawa sumbang.

"Tenang katamu? Kau tidak mengerti, Dokter! Kau tidak akan pernah mengerti bagaimana perasaanku saat ini!." Tidak ada air mata dan tangisan seperti sebelumnya, hanya tawa sumbang yang terdengar.

"Sejak dilahirkan ke dunia sampai saat ini, penderitaanku tak pernah usai, Dokter! Aku kebingungan. Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa, tidak mungkin aku menyalahkan takdir Tuhan. Namun takdir yang kudapatkan ini mengapa tidak seberuntung yang lainnya? Aku lelah. Aku ingin marah. Tapi siapa yang harus menerima kemarahanku?" Lily menjeda ucapannya mengambil sedikit oksigen, dadanya terasa sesak setiap mengingat kembali hal-hal buruk yang telah dilaluinya. Amy menangis dalam diam, Dokter dan perawat menatap prihatin pada Lily.

"Mulai hari itu segalanya membuat kehidupanku berubah menjadi kehidupan yang sangat tidak ingin kujalani, hari di mana diriku dijauhi dari nenekku yang telah memberikan kebahagiaan padaku. Pria brengsek itu mengacaukan kehidupanku dan juga segalanya, lebih baik aku memilih mati jika harus tinggal bersama bahkan mengandung keturunannya." Lily mencurahkan segala keluh kesahnya, ia sudah lelah memendam segalanya sendirian.

Dokter Larissa merasa tak enak hati pada Lily, ia mengusap punggung tangan Lily pelan.

"Maafkan aku. Aku tak bermaksud mengorek luka yang kau pendam selama ini." Lirih Dokter Larissa, ia merasa sangat bersalah.

INVISIBLE BASTARD HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang