"Gue mah lebih suka sama si Zahra, ketua cheerleaders yang mukanya kebule-bulean itu. Atau gak si Hilda, anak PMR yang suaranya selembut kapas."

Juga tidak terima akan tuduhan Jenaro yang mengatakan jika Maxen suka Jessica, cowok itu pun ikut-ikutan seperti Saguna. Membocorkan list cewek idamannya.

"Gue daripada suka Jessica, mending langsung nembak si Aisyah pake bunga."

"Aisyah yang mana, Xen?" Rainer buka suara karena penasaran.

"Itu loh anak kelas sebelah. Yang tahun lalu juara satu umum se-galaxy," terang Maxen.

"Oh itu iya tau gue. Cakep juga pilihan lo, ye."

"Gak cuma satu aja. Ada lima cewek lagi yang gue demenin."

Rainer geleng-geleng kepala mendengarnya, "Coba sebutin satu-satu. Siapa tau gue sama Rain bisa gaet salah satu dari keenam cewek itu."

Maxen melotot, "Heh, lo sakitin sepupu gue kelar hidup lo, ya, Min Jun."

"Becanda gue, Xen. Aelah baperan banget lo. Santuy aja. Gue cintanya sama Hebi doang. Belahan jiwa gue tuh."

Jenaro menyambar, "Rain lo juga jangan macem-macem di belakang Jena, ya. Sempet gue tau lo selingkuh, gak bakal gue kasih ampun lo."

"Aman, Ro."

Pagi ini, Saguna termasuk paling kalem setelah Narain. Cowok berhoodie abu-abu itu tampak tenang duduk di bangkunya sembari memainkan ponsel. Untung saja Saguna bisa mengendalikan diri mengingat emosinya pun cepat terpancing untuk hal-hal sensitif berbau perasaan seseorang. Karena saat-saat itu lah Saguna teringat pada adik perempuannya.

Membayangkan adiknya dipermainkan sungguh menyakitinya. Dan di mata Saguna, Oife sama seperti Sasha. Sifat keduanya sangat mirip.

➖➖➖

Jenaro sudah membuat keputusan. Keputusan yang sedikit menyentil hatinya. Oife tidak masalah akan kenyataan bahwa dirinya sudah ditolak sebelum mencoba.

Walau Oife tidak sepenuhnya mengerti bagaimana perasaannya terhadap Jenaro. Sejak kapan dia berhenti membenci, sejak kapan rasa itu mulai tumbuh dan entah sejak kapan dia begitu berani mengambil kesimpulan jika dia menyukai cowok kasar bin semena-mena itu.

Intinya, setengah ruang di hatinya ada yang patah saat Jenaro lebih memilih Jessica.

Keputusan yang mengakibatkan Oife tidak tidur sampai larut pagi. Memandangi langit-langit kamar dengan pikiran melayang-layang.

Sepuluh menit sebelum bel istirahat berbunyi, Oife meminjam jaket Hebi untuk dia jadikan bantal. Menidurkan kepalanya di atas jaket yang dia taruh di meja. Menatap Hebi yang sedang menggambar makhluk-makhluk pintar nan menggemaskan bernama lumba-lumba di halaman belakang buku tulisnya.

"Gambaran lo oke, Bi." Oife memberi penilaian.

"Thanks. Tapi menurut gue sih ini kurang lucu aja."

Dahi Oife mengerut dalam, "Mau lucu yang kayak gimana lagi, Bi? Badannya udah lo warnai. Udah lo tambahin lautnya juga tuh. Terus lo masih ngerasa kurang?" tanya Oife tak percaya.

"Pinginnya sih kayak Rainer."

"Hadehhhh, itu mah gampang. Tinggal lo gambar aja cowok lo di situ. Jadi deh anak dugong."

"Sialan lo, ye!" Hebi gemas lalu menampol pipi Oife membuat Oife terkekeh pelan.

"Abisnya lo aneh. Lumba-lumba kan udah lucu ngapa lo repot mikir mau digimanain lagi."

JENARO Where stories live. Discover now