Oife mengaduh pelan sambil mengusap-usap dahinya, "Kok dijitak sih?"

"Kesambet apa lo? Jin tomang? Arwah nenek galon?"

"Ih, apaan, nenek galon. Yang ada tuh nenek gayung."

Jenaro mendengus, "Ya lo nenek-neneknya. Lihat noh, rambut lo warna putih. Ubanan mana masih muda."

"Heh, sembarangan! Ini warna perak! Bukan putih!" Oife bersungut sebal membuat Jenaro memiting lehernya dengan tangan lalu menyeretnya untuk mengikuti langkah lebarnya.

"Salahin Saguna. Dia bilang lo nenek lampir. Jadi gue ikut-ikutan manggil lo nenek."

Susah payah mendorong tubuh Jenaro agar pitingan cowok itu di lehernya terlepas. Sama sekali tidak berhasil. Membuat Oife menyumpah serapahi Jenaro yang malah tertawa di telinganya.

"Dih, muncung si Guna-guna pingin kena tampol sendal bakar ye! Lagian kalo pun gue udah nenek-nenek, dia juga udah cocok jadi kakek-kakek!"

"Kakek rempong tapi!" tambah Oife menggebu-gebu. Jenaro melihatnya mengulum senyum samar. Oife yang ada di hadapannya jauh berbeda dengan beberapa saat lalu. Kekesalan tampak menghiasi wajah pucatnya. Kesedihan tak lagi membingkai kecantikannya.

"Udah ah, yuk balik." Jenaro menjauhkan diri. Tangan yang semula melingkari leher Oife perlahan turun menggenggam sebelah tangan cewek itu. Jelas Oife menegang sesaat sebelum tubuhnya rileks lagi dan tatapannya terus tertuju ke tautan mereka.

Sepanjang menuju rumahnya, Oife terus memperhatikan Jenaro yang selangkah di depannya. Menatap punggung tegapnya yang mungkin terasa pas saat dipeluk. Oife menggeleng-gelengkan kepalanya. Menghalau pikiran gilanya barusan.

"Gue gak mau pulang, Ro."

"Emang lo udah punya tujuan bakal ke mana malam ini?" tanya Jenaro tanpa melirik Oife.

"Rencana mau nginep di rumah nyokap. Atau gak ke panti jompo aja kali ya? Mayan rambut perak gue berguna juga buat akting jadi nenek-nenek terlantar."

Mendengar ucapan ngawur Oife, Jenaro pun memberhentikan langkahnya, "Gila lo ya?"

"Gue kan emang gila sayang. Gak ingat apa lo pernah jeblosin gue ke RSJ?" sindir Oife yang mana Jenaro langsung bungkam. Kemudian dia mendengus kasar. Melanjutkan langkahnya yang tertunda diikuti Oife di belakangnya.

"Masih ingat aja lo sampe sekarang."

"Oh ya jelas lah. Itu adalah kenangan terburuk selama gue bernapas. Bahkan kalo nanti gue mati duluan pun gue akan selalu mengingat lo dan kejadian memalukan itu."

Lagi-lagi Jenaro menghela napas, "Gue minta maaf, oke?"

"Gue maafin asal lo putusin Jessica."

"Lo bener-bener sinting, ya, Fe?" Jenaro melepaskan tangannya, memutar tubuh menghadap Oife. Keduanya sudah sampai di teras.

"Tinggal putusin aja, Ro. Gampang kok. Bilang aja gini, heh ular kadut, gue pingin putus. Soalnya lekuk badan lo krempeng meliuk-liuk. Sedangkan tipe gue yang bohay kayak gitar spanyol. Dah selesai." Oife memperagakannya dengan tampang songong seolah-olah Jessica ada diantara mereka.

Tawa Jenaro pecah. Ekspresi lucu Oife mengocok perutnya. Jenaro sampai membekap mulut guna meredakan tawanya juga karena pelototan Oife.

"Siapa suruh lo ketawa?"

"Asli lo kocak."

Oife menjentikkan jarinya, "Ah, kocak ya." Yang dilakukan Oife selanjutnya sungguh di luar dugaan. Jenaro nyaris tersedak salivanya sendiri mendengar nyanyian Oife dengan lirik yang diubah-ubah seenak jidatnya.

JENARO Where stories live. Discover now