Hari ini, terhitung tiga kali ia menunda kesempatan. Pertama, karena Gisel. Gadis itu minta ditemani ke psikiater lantaran merasa gila dengan kesedihan akibat kepergian Wendy. Revel menunggu di luar ketika gadis itu menemui dokter.

Kedua, lebih tepatnya saat ia sudah memastikan Gisel pulang kosan dengan aman, tiba-tiba saja Tomvi minta tolong. Motornya ngadat sedangkan dirinya masih ada kelas. Cowok itu bilang nanti malam dirinya harus menjemput sang pacar. Merasa kalau selama ini motor Tomvi sering ia pinjam, Revel lantas menerima permintaan adik tingkatnya untuk service motor.

Ketiga, bimbingan. Saat Revel menunggu motor Tomvi diotak-atik, satu dari duo KenTod mengirimnya pesan yang berisi revisi. Revel menyetujui. Ia tinggalkan motor Tomvi di bengkel dan pulang ke kosan membawa perlengkapan. Dua jam lamanya ia diberi arahan. Tepat keluar dari ruangan, another KenTod menghubunginya juga.

"Saudara bisa datang ke lantai 10 Gedung Baru, kan?" kata pria itu. "Saya mau bahas jurnal ilmiah yang bisa Saudara sertakan sebagai syarat sidang."

Revel mengiyakan. Terpaksa ia berjalan ke arah Selatan kampus dan menemui pria itu.

Sekarang kesempatan itu terbuka lagi. Revel yang selesai tatap muka dengan sang dosen memilih naik ke atap gedung. Kebetulan kuncinya bisa dibuka. Kebetulan juga hari sudah sore sehingga tidak ada orang di sana.

Atap gedung itu dibatasi pagar setinggi pinggang. Saat berdiri di sana, akan terlihat miniatur kampus secara lengkap. Beberapa orang mungkin takut oleh jauhnya jarak tanah dengan atap. Tapi Revel justru merasa nyaman.

Sebelumnya, Revel menyempatkan diri membaca buku Wendy. Itulah pertama kali ia membuka catatan gadis itu sejak si buku dibawanya. Baru membaca halaman pertama saja perasaan Revel langsung tidak enak. Meski hanya tiga bait puisi, rasa sedih itu mendarat sukses di dadanya.

"Kamu merindukannya?" bisik sang Pemusnah Massal.

"Sangat," jawab Revel getir. Benar kata orang, rindu itu berbahaya. "Semua sakit ini masih bisa saya tahan. Tapi tidak dengan rindu yang bekerja sama dengan penyesalan. Saya nggak sanggup lagi."

Revel melihat sang Pemusnah Massal mendekat. Makhluk itu memegang bahunya. Dan tentu saja, hanya Revel yang merasa. Ia tampak berbicara sendiri.

"Sudah saatnya," sang Pemusnah Massal berbisik.

Revel mengangguk. Ia naik melalui pembatas. Posisinya sekarang adalah di balik besi. Angin berkesiur lagi. Mengacak-acakkan rambut, juga perasaannya.

"Kau tidak merasa takut, kan?"

Revel menggeleng.

"Bagus. Mari kita lakukan."

Revel mengatur napas. Entah kini hatinya yang telah mati, atau memang sang Pemusnah Massal yang sah menjadi kawannya, yang pasti tidak ada lagi keraguan di benak. Revel juga telah menerima bahwa memang beginilah dirinya. Kalah dari sang Pemusnah Massal.

"Ini bukan soal kalah menang," sang Pemusnah Massal tiba-tiba mengingatkan. Akhir-akhir ini makhluk tersebut memang lebih kalem. Jarang mendesak. Lebih sering mengingatkan.

"Seandainya kamu adalah bentuk yang lain," jawab Revel. "Mungkin nggak akan seperti ini."

Walau menjengkelkan, tak bisa dipungkiri kalau cuma sang Pemusnah Massal yang selalu di samping Revel. Dia abadi. Setia. Mengakar.

"Kemunculannku tergantung kau. Karena kaulah yang menciptakan aku."

Revel tidak menjawab. Ia lanjut merentangkan tangan dan memejamkan mata. Angin menerpa lagi sekitar wajah. Dan tepat ketika ia hendak mengangkat satu kaki, gerakannya terinterupsi.

Ponsel di saku celananya berdering.

Sialan!

Joy is calling ...

Revel terpaksa menyetujui panggilan tersebut. Seperti biasa, suaranya yang segar membuat Revel sedikit terhibur.

"Re, apa kabar?"

"Baik."

"Beneran?"

"Honestly, I've been better."

Joy menggumamkan sesuatu di seberang sana. Revel mendengarkan, kemudian tersenyum pahit. Kepalanya mendongak ke bawah gedung. Telunjuknya menyentuh-nyentuh pagar pembatas.

"Sekarang?" tanya Revel setelah Joy selesai bicara.

"Iya. Bisa, kan?"

"Hm. Oke."

Sekian sekon berlalu. Sampai akhirnya panggilan terputus. Sambil mengembus napas, Revel menaiki lagi pembatas gedung. Ia berada di letak aman sekarang. Bukan hari ini, pikirnya seraya mengambil ransel. Mungkin besok.

Ya, besok atau lusa.

Ia akan mati secepatnya.


*TAMAT *
.


Aku dan Sang Pemusnah MasalDonde viven las historias. Descúbrelo ahora