BAB 33. Berkorban.

Start from the beginning
                                    

"Lagipula, sudah tahu jantungnya tidak mampu masih juga memaksa ikut. Kalau lolos lagi dan maju ke tingkat nasional, bisa-bisa nanti Kakak mati muda."

Ares menyambung kalimatnya.

"Ayah, kan, sudah bilang kalau Kak Sena tidak akan bisa ikut kejuaraan apa pun karena jantung Kakak."

Sena menghela napas seraya menatap Ares dengan jengkel. Saudara kembarnya ini memang tidak tahu cara menghibur orang yang sedang bersedih. Terlalu blak-blakan dan kelewat jujur.

"Pantas saja kamu tidak pernah punya pacar meskipun digilai banyak gadis dan populer."

Sena membalikkan badan, membatalkan niatnya untuk mengambil air dari lemari pendingin. Ia mengambil gelas, mengisinya dengan air dari dispenser. Hujan turun semakin deras, suara rintiknya mendominasi dapur yang terasa lengang.

"Heh? Apa hubungannya?" Ares mencibir usai berpikir cukup keras selama beberapa saat. "Mau menuduh kalau aku gay lagi?"

Sena tersedak, airnya masuk ke hidung. Ia terbatuk, kembali meneguk air untuk meredakan batuknya. Sena masih terbatuk beberapa kali, kemudian menatap Ares dengan sebal. Untung-untung Sena tidak menyemburkan airnya.

Sena berdeham gugup. "Apa-apaan, sih? Itu, kan, sudah lama."

Kini giliran Ares yang mengendikkan bahu. "Semua orang bilang begitu, termasuk Kakak juga nyaris seperti mereka. Kalau Ayah tahu, aku bisa dicoret dari kartu keluarga ... mungkin?"

"Besok aku mengadu pada Ayah kalau kamu dihina gay," celetuk Sena santai seraya meletakkan gelas kaca yang ada di tangannya. Menggoda adiknya. Ares menegakkan badan, lantas merengek. "Ih, Kak! Pikasebeleun pisan sih!"

Sena nyaris tertawa mendengar Ares yang langsung menggunakan bahasa sunda ketika merengek. Nyebelin banget sih, maksud Ares.

Melihat Sena tersenyum menahan tawa, Ares sekonyong-konyong mengulas senyum tipis tanpa sadar. Sena menghela napas, menatap ruang tengah yang hanya diterangi oleh lampu kecil redup. Ia menyentuh dadanya.

"Menurutmu, aku bisa bertahan dengan jantung seperti ini sampai aku tua nanti?"

Senyum Ares luntur. "Dokter saja bilang Kakak hanya bisa bertahan lima bulan lagi."

Sena meremas bajunya seraya menurunkan arah pandangannya. Ia tatap lantai marmer dapur yang dingin.

Benar, lalu untuk apa bertahan hidup? Pikir Sena. Toh, Sena juga tidak bisa melakukan hobi-hobinya dengan leluasa. Tidak bisa meraih mimpinya semudah orang lain, semudah Ares.

"Aku boleh minta peluk, Res?"

Dahi Ares perlahan memerah. Ia mengalihkan pandangannya dan berjalan melewati Sena. "Untuk apa? Tidak mau. Aku mau tidur saja."

"Sesama laki-laki berpelukan seperti teletubbies, hih. Tidak mau," gerutu Ares seraya berjalan menjauh.

Sena menurunkan tangan, kepalanya tertoleh. Kedua manik Sena menatap rak pisau yang berada di dekat talenan. Sena berjalan mendekat, mengambil salah satu pisau dapur berukuran kecil dan menatapnya lama.

Mata Sena sedikit melebar ketika Ares tiba-tiba berdiri di sampingnya dan merebut pisau itu. Ares meletakkan pisau tersebut di atas talenan kemudian membalik tubuh Sena. Ia menarik Sena dalam pelukannya secepat kilat. Kedua alis Sena masih terangkat karena kaget, tangannya masih menggantung, enggan memeluk balik Ares.

"Sebentar saja. Aku malu."

Perlahan, Sena melingkarkan tangannya. Memeluk Ares dan menenggelamkan wajahnya pada bahu Ares. Sena memejamkan mata, mengurungkan niat untuk menusuk dirinya sendiri dengan pisau dapur.

Detak. ✔Where stories live. Discover now