[Thirty Six] (b)

2.5K 278 19
                                    

Thirty Six (b) | TBFND

"Stacey, menurutmu, mengapa Louis mengajakku?" 

Terlihat kedikan bahu Stacey yang terpantul dari cermin sesaat setelah aku melontarkan kalimat tanyaku itu. Ia tampak tak peduli dan masih berkutat pada kegiatannya membongkar lemariku. Dan aku juga bisa merasakan tatapan—entahlah, mungkin terkejut?—dari Kathy. Aku menoleh ke arah Kathy yang kini menautkan kedua alisnya yang sudah dipulas dengan pensil alis berwarna senada. Kathy baru saja selesai meriasku dan sekarang ia merias dirinya sendiri. Ia juga akan datang ke pesta nanti malam. Katanya, pesta ini adalah kegiatan tahunan kampus yang bertujuan agar para mahasiswa baru lebih mengenal teritori kampus serta mahasiswa lainnya, namun acara ini juga bersifat umum; tak ada batasan angkatan. Maka dari itu ia datang. Kathy kan penyuka pesta. 

"Kau datang bersama Louis?" Akhirnya Kathy membuka mulutnya dan bertanya padaku setelah sekian detik hanya menatapku. Kathy tak mengenal Louis, bahkan kurasa bertemu saja mereka tak pernah. Namun ia mengetahuinya karena aku yang bercerita padanya tentang Louis. Waktu itu ia bertanya tentang pengirim kado novel-novel itu saat ulang tahunku, lalu aku mengatakan padanya bahwa pengirimnya adalah Louis, salah satu teman sekolah menengah Alain, dan hubungannya denganku cukup dekat, sebagai teman. Aku hanya menceritakannya sampai bagian itu tanpa menambahkan bahwa aku pernah menyukainya ataupun ia yang pernah menolakku. Itu pil pahit, maka telan saja, jangan ingat-ingat rasanya. Itu masa lalu, jadi jangan diingat.

Aku mengalihkan pandanganku darinya ke cermin lalu menggerai rambutku yang tadi kuikat asal. Kemampuan Kathy dengan kuas dan warna-warni kosmetik tadi, boleh juga. Buktinya aku tak terlihat seburuk yang kubayangkan. Yah, meski aku tak mau mengakui itu di depannya. 

"Ya, kukira kau tahu?" jawabku dengan nada bertanya. Kupikir ia memang tahu, kupikir Stacey memberi tahunya. Ia menggeleng, ada ekspresi yang tak bisa kubaca di wajahnya.

"Memangnya kenapa? Ada yang salah jika aku pergi dengannya?" 

Kathy berdiri dari duduknya lalu berdiri di belakangku, menyikat rambut bagian belakangku. "Yah, aku hanya heran. Dimana Harry? Mengapa kau tak pergi dengannya?" 

"Oh, katakan padaku berpangkat apa ia dalam hidupku." Aku menggeleng.

"Pacarmu." Kathy menjawab. Dan aku yakin bahwa yang ia gunakan dalam kalimatnya adalah tanda titik bukan tanya, seakan ia memang benar-benar yakin akan jawabannya. Aku meliriknya, namun pandangannya terfokus pada rambutku, menggulungnya di belakang kepalaku. 

"Kukira kalian pacaran." Kurasa aku menggelengkan kepala sehingga Kathy berkata demikian. Ia menatapku dari cermin lalu melirik sekilas ke arah gantungan mantel di belakang pintu tempat aku meletakkan jaket jins milik Harry. Benda itu sudah tergantung di sana selama berbulan-bulan, di tempat yang sama. Maksudku, aku tak pernah menyentuhnya lagi setelah hari itu; hari dimana aku menggantungnya. Janjiku jika aku akan mencuci dan mengembalikannya pada Harry sekarang terdengar seperti omong kosong. Lagipula, ia berkata padaku untuk menyimpannya. Dan di benakku tak ada satu pun alasan untuk menyimpannya, kecuali bahwa aku ingin. Hanya itu. 

Kathy menepuk bahuku sekilas lalu berlalu menghampiri Stacey yang baru saja menjerit dengan mengomel. Aku terlalu hanyut dalam pikiranku sehingga tak mendengarnya.

Aku tahu, bukan ini yang kuinginkan.

Aku benci jujur. Bahkan aku yakin dalam keadaan tak sadar pun, aku tak akan berkata sejujurnya. Kau boleh menghipnotis dan menyuruhku menyebutkan satu rahasia terdalamku, dan aku tak akan mengatakannya. 

Aku benci mengakui ini, tapi rasanya aneh. Aku berharap bukanlah nama Louis yang tertera di ponselku bersamaan dengan pesannya yang masuk saat ini. 

The Boy From the Next DoorWhere stories live. Discover now