[Thirty Six]

2.5K 268 13
                                    

Thirty Six (a) | TBFND

Aku menyerongkan kepalaku ke kanan, menghindari bulu-bulu kuas yang serasa menggelitik tulang pipiku. Aku tak bisa duduk diam, bagaimanapun caranya. Bahkan jika harus memilih antara 100 dolar atau duduk di sini, aku akan memilih 100 dollar, tentu saja. Siapa yang tidak mau 100 dollar? 

Kathy ada di hadapanku dengan tangan kanan yang memegang kuas kosmetik yang di arahkan ke wajahku dan tangan kirinya yang memegang benda pipih dengan berbagai macam warna di atasny—yang kutahu sebagai kosmetik semacam perona pipi, dan pemerah bibir. Jangan kira aku tak tahu, karena meski tak pernah—oke, jarang—memakainya, namun aku tak hidup di bawah batu. Biasanya aku memakainya hanya pada saat-saat tertentu, seperti pernikahan kerabat atau menutupi mataku yang berkantung setelah semalaman menonton film. Ia sudah seperti pelukis dengan palet warnanya yang sedang berhadapan dengan kanvas—yang mana di dalam konteks ini, akulah kanvasnya. Buruk mengingat bahwa Kathy bukanlah pelukis yang baik. Dan aku tak tahu apa yang terjadi pada wajahku sekarang ini. 

Sementara Stacey—ya, ia juga ada di sini karena ia dan Kathy bersekongkol untuk menjadikanku kelinci percobaan mereka malam ini—sedang menggeledah isi lemariku dan terkadang melempar sesuatu keluar dari dalamnya jika ia tak menemukan apa yang dicarinya, yang mana membuatku kesal karena aku menghabiskan waktu seharian untuk menata semua pakaianku agar cukup di lemari kecil itu. Yah, tapi kau tahu, Kathy meneriakiku karena menggerakkan wajahku-untuk menegur Stacey—yang mengakibatkan lipstick yang ia poleskan di bibirku menjadi asimetris. 

Tapi siapa yang peduli pada polesan lipstick yang asimetris? 

Oke, aku. Karena aku tak mau datang malam ini sebagai badut konyol di acara pesta kampus. 

"Zoey, diam," ujar Kathy di sela giginya yang terkatup. Aku meringis melihat ekspresinya. Ia sudah seperti hendak memakanku bulat-bulat jika aku terus bergerak. Dan jangan mengira jika aku tak memberontak sedari tadi karena Kathy sampai memerintahkan Stacey untuk meminjam borgol di pos keamanan untuk ancaman agar aku diam. Tetapi aku tak bisa melawan takdir keras kepalaku, jadi aku terus memberontak sampai Stacey berdiri di depan pintu kamarku dengan borgol di antara ibu jari dan telunjuknya yang ia acungkan di udara sembari berseru senang; "Lihat, aku mendapatkannya dari Samuel! Ia dengan sukarela memberikannya padaku setelah kujanjikan bahwa aku akan memberinya nomor ponselku nanti. Astaga, ia sangat mudah ditipu. Aku tak mungkin menyerahkan nomor ponselku pada petugas magang sepertinya, duh. Tapi, ia berkata bahwa kunci borgol ini telah hilang sejak lama—yang mana tak ada kunci lain yang bisa membukanya. Jadi, dimana aku harus meborgol Zoey? Di tangan atau di kaki?" 

Dalam hitungan sepersekian detik, aku langsung terdiam, menatap Stacey dan Kathy dengan tatapan apakah-kau-bercanda secara bergantian. Kathy mengulum bibirnya lalu berdiri dan mengambil borgol tersebut dari tangan Stacey, yang membuatku makin melotot. Satu hal yang ada di pikiranku saat itu adalah mereka benar-benar gila. Mereka menyiksaku! 

Aku jadi teringat sewaktu aku berumur tujuh dan Alain sepuluh, Mom membawa kami ke pusat perbelanjaan. Mom membebaskanku dan Alain untuk memilih satu jenis mainan. Saat itu Alain memilih mainan polisi lalu lintas. Di dalamnya ada topi polisi, tongkat untuk mengatur lalu lintas, peluit, dan tak ketinggalan dengan sepasang borgol beserta kuncinya. Sementara aku memilih boneka kuda poni dengan surai merah muda yang berjumbai di lehernya. Waktu itu aku mengganggu Alain dengan menggelitik lehernya menggunakan surai boneka kuda poniku karena ia tak mengajakku bermain bersamanya. Ia malah berteriak marah dan mengambil salah satu borgol mainannya dan memborgol kedua tanganku. Tak lupa, ia juga melempar kuncinya ke bawah sofa. Awalnya aku tak menangis dan malah menatapnya lebih galak. Aku mencoba melepaskan benda itu dari tanganku yang tidak berbuah apapun kecuali goresan merah di pergelangan tanganku. Aku ingat bahwa saat itu aku menangis, bukan karena tak berhasil melepaskannya, namun karena Alain yang mengatakan bahwa aku penjahat dan aku bersalah. Aku baru berhenti menangis saat Mom pulang dari suatu tempat—entahlah, aku lupa—dan mengambil kunci dari bawah sofa lalu membuka borgol itu dari tanganku. Maka, jangan salahkan aku jika aku mengutuk Alain dan terkadang tak mengakuinya sebagai kakakku, karena banyak hal yang ia hancurkan dari kesan masa-kecil-bahagiaku. Sampai sekarang aku akan menutup telingaku rapat-rapat saat mendengar sirine mobil polisi atau memalingkan wajah saat salah satu dari mereka melihat ke arahku. Seperti semacam trauma. Dan aku akan mengetuk kepala Alain jika ia berada di dekatku pada saat-saat mengerikan itu. 

Jika borgol plastik saja bisa membuatku menangis, apa yang bisa dilakukan borgol besi sungguhan tanpa kunci kepadaku? 

Namun—untuk kali ini saja aku akui—Kathy juga masih punya otak. Ia mengambil borgol itu dari tangan Stacey dan meletakkannya di atas lemari lalu ia kembali duduk di depanku dan berkata padaku bahwa jika aku memberontak terus, ia tak akan segan-segan untuk memborgolku. Tapi logikanya adalah, jika ia memborgolku, aku tak akan bisa datang ke pestanya. Percuma saja ia menghabiskan sekotak kosmetik untukku, namun aku tak bisa menghadiri pestanya mengingat borgolnya yang tak berkunci. Mereka lebih gila lagi jika membiarkanku pergi dengan tangan terborgol. Tetapi aku memilih diam daripada mengambil resiko Kathy akan sungguhan memakanku. 

"Tapi, aku seperti akan bersin," ujarku, masih menjauhkan wajah dari hadapannya dan mengerutkan hidung—berekspresi macam akan bersin sungguhan yang sebenarnya hanya agar Kathy menyudahi memulas pipiku. 

"Oh, ayolah, satu polesan tak akan menyakitkan," ujarnya. Kali ini air wajahnya sudah tak semenyeramkan sebelumnya melainkan ekspresi lelah. Ia menangkap daguku dan memutarnya agar berhadapan dengannya lagi. Aku memejamkan mata. Berharap ia melakukan yang terbaik kali ini, bukannya malah menjadikanku badut ulang tahun. 

"Lagipula," kataku masih sambil memejamkan mata. Kathy sudah berhenti memulas pipiku dan sekarang ia beralih memulas mataku, jadi aku harus tetap memejamkan mata. "Acaranya dimulai pukul tujuh dan ini masih pukul 5, demi Tuhan," lanjutku. Kathy tak menjawab selama beberapa saat membuatku beranggapan bahwa ia lelah dengan semua kelakuanku—yang mungkin memang benar.

Namun akhirnya, ia membuka mulutnya juga, "Ya, dan apakah menit-menit terakhir cukup untuk bersiap jika kau memberontak seperti tadi?" 

Aku mendengus kesal. Di saat-saat seperti ini aku merasa Kathy seperti Mom dan aku menjadi gadis kecil tak berdaya yang mana membuatku kesal. Lagipula, sudahlah, tenagaku juga sudah habis untuk memberontak. 

"Kau tak bisa memutar matamu, nona." Kathy berujar. Mungkin karena melihat pergerakan pada kedua kelopak mataku. 

Akhirnya, aku hanya bisa duduk diam di sini sembari mempertanyakan lagi alasanku saat mengatakan bahwa aku menyetujui ajakan Louis untuk datang bersamanya di acara tahunan kampus ini. Jangan kau kira bahwa hari itu aku tak menghampiri Louis dan menanyakan apa maksudnya. Aku menghampirinya dan yang kudapat hanyalah cengirannya serta kalimatnya bahwa aku harus datang, tidak ada alasan untuk menolaknya. Sialan, dulu ia menolakku, dan jika aku ingin membalaskan dendamku padanya, seharusnya aku menolak ajakannya. Tetapi tak ada yang kulakukan selain menganggukkan kepala dan berkata, "oke, aku akan datang." 

Percayalah bahwa aku tak tahu apa yang terjadi pada otakku saat itu. 

Sungguh konyol rasanya saat memikirkan apakah aku termakan omongan Louis yang berkata bahwa sebentar lagi, ia akan sibuk dengan kuliahnya dan hal itu pasti membuat kami menjadi jarang bertemu. Meragukan jika aku merasa akan merindukannya. Maksudku, aku dan Louis sudah tak bertemu selama beberapa tahun lamanya dan aku merasa biasa saja. Ya, kecuali tentang masa laluku—oh, tak perlu diingat. 

Pertanyaan pentingnya adalah mengapa aku mau saja diajak ke pesta—mengingat fakta bahwa aku adalah seorang anti-pesta—tanpa alasan yang jelas? Bahkan aku menyuruh Margareth untuk mendaftar paling tidak 10 alasan mengapa aku harus pergi ke prom high school-ku dulu. Dan kali ini Louis, tanpa melakukan apapun dan aku setuju dengannya. 

Seharusnya ini bukan karena Louis. 

"Stacey, menurutmu, mengapa Louis mengajakku?"

***

happy new year 2015! /lebih cepat lebih baik/

Thirty six (a), thirty six (b) nya semoga besok bisa di post:)

The Boy From the Next DoorWhere stories live. Discover now