[Eighteen]

3.9K 413 30
                                    

Eighteen | TBFND

Bangun dengan kepala yang pening sebab memikirkan kalimat Kathy adalah salah satu dari banyak hal bodoh yang pernah kulakukan. Dan seperti biasa, penyesalan selalu datang di akhir, karena jika di awal itu namanya pendaftaran. Konyol dan tidak lucu sama sekali, Zoey. Well, aku mendengarnya dari Alain dan saat itu aku mencemoohnya karena leluconnya yang buruk. Ngomong-ngomong, bagaimana kabar anak itu? Apakah ia masih hidup? Oke, kembali ke topik awal.

Bicara tentang kalimat Kathy, ia seketika membuatku berubah pikiran dengan satu kalimat ajaibnya itu. Bayangkan saja, seorang Zoey yang keras kepala hendak mengetuk pintu tetangga mengesalkannya--untuk yang kedua kalinya--mendadak mengurungkan niatnya. Oke, aku akui jika Kathy terlalu sering bicara asal, tapi kalimatnya saat itu membuat otakku menerka-nerka apa maksudnya. Itulah sebabnya mengapa aku pening.

Ia mencari perhatianku? Hahahaha. Baca itu dengan nada tawa sarkastik, oke.

Tak terasa, dua hari lagi adalah hari dimana kuliahku akan dimulai. Namun aku terlanjur malas membuka buku pelajaran. Aku baru sadar jika kasur empuk, novel, dan coklat panas adalah hal-hal terbaik dalam hidup. Aku tak tahu apa jadinya jika orang-orang tak pernah menemukan kapuk kasur, pegas, dan biji coklat. Dan aku tak tahu akan jadi seberapa membosankannya hidup ini andaikan orang tak pernah berpikir jika imajinasi kolotnya bisa dijual. Pasti akan sangat membosankan. Maklumlah, dahulu aku selalu belajar dan belajar. Kursus ini kursus itu blablabla. Liburan terpanjang adalah saat musim panas, tapi biasanya Mom mengirimku untuk mengikuti acara-acara musim panas atau apapun itulah sehingga waktuku untuk bermain tak banyak. Itu bukanlah suatu hal yang kusesali. Karena pengalaman dan belajar pulalah aku bisa berada di sini sekarang. Yang aku sesali adalah mengapa mereka memberikanku kamar yang bersebelahan dengan makhluk tak jelas itu.

Kau boleh bilang aku jahat dan aku tak peduli.

Aku mengangkat tanganku tinggi-tinggi yang bertujuan untuk melancarkan semua sirkulasi darah setelah bangun tidur lalu menguap selebar-lebarnya. Itu kebiasaan buruk. Kata Mom, aku bertampang seperti kuda nil saat aku menguap. Lalu aku berpikir, jika anaknya kuda nil maka ia sendiri juga--ah sudahlah.

Aku beranjak dari kasurku dan menuju ke arah balkon. Sudah tahukah kau jika setiap kamar asrama mempunyai balkon? Kalau tidak, sekarang kau tahu. Balkonnya tak seberapa besar sih. Panjangnya kira-kira hanya setara dengan lima buah penggaris berukuran 30 senti meter yang mana sama dengan 150 senti meter, atau jika dikonversikan ke meter maka panjang balkon adalah 1,5 meter. Jika perbandingan panjang dan lebar balkon adalah 3 banding 2 maka berapakah lebar balkon ini? 

Haha, aku merasa seperti perempuan-perempuan centil yang ada di acara kuis. Tenang, kau tak perlu menjawab pertanyaan di atas.

Aku menggeser pintu kaca yang membatasi dalam ruangan dan balkon. Udara segar pagi hari menghembus dan menyeruak masuk ke paru-paruku. Udara pagi hari itu segar. Aku tengah tersenyum memandangi dua burung gereja yang mampir di teralis balkonku saat aku merasa sesuatu benda kecil yang melayang mengenai kepalaku.

Sial.

Aku menoleh ke arah balkon kiriku dan mendapatinya tengah berdiri di sana memberiku senyum terpolosnya seperti bocah berumur satu tahun yang baru mengucapkan kalimat pertamanya.

"Hai," sapanya yang membuatku gusar. Pasti ia yang melempariku dengan kertas tadi. Kalau bukan, memangnya siapa lagi yang ada di sini? Aku memutar mataku malas dan tak berniat membalas sapaannya. Ini masih pagi dan aku tak mau marah-marah. Buang-buang energi saja.

"Maaf, aku tak sengaja mengenaimu, tadinya aku hendak mengenai burung kecil itu tapi malah salah sasaran," ujarnya lengkap dengan senyum tiga jari bak model iklan pasta gigi. Aku tahu itu hanya alibinya saja. "Maaf juga jika kemarin kau mendengar suara bor dan ketukan palu di dinding, aku sedang memasang paku untuk menggantung foto baru Renata. Maaf," lanjutnya yang semakin lama membuatku makin risih dengan penggunaan kata 'maaf'-nya yang berlebihan. Lagipula, siapa yang peduli dengan kegiatannya? Aku bahkan tak pernah mau tahu.

"Jangan ulangi lagi, kau sudah cukup membuatku muak dengan kelakuan menyebalkanmu," jawabku. Terlihat dari ekor mataku ia malah mengembangkan senyumnya.

"Baiklah, aku berjanji, tapi bolehkah aku ta--hei, tunggu!" ujarnya yang terpotong dengan aksiku yang kembali masuk ke dalam kamar. Aku merasa hawa segar pagi menyusut dan membuatku kegerahan. Atau mungkin itu semua karena ulah Harry keriting itu. Entah mengapa, tapi semua hal yang dilakukannya selalu berhasil membuatku kesal. Oh, sekarang aku tahu mengapa orang tuanya tak sanggup lagi mengurusnya.

Aku telah menutup pintu saat sayup-sayup terdengar,

"Hey, I just I met you and this is crazy but my name is Harry, now what is your name?"

Aku tak pernah tahu jika Carly Rae Jepsen mengganti lirik lagunya.

***

PANJANG BANGET HAHA. Fast update pula. Padahal janjinya kan setiap weekend doang :')

Pengen nyelesaiin cerita ini sebelum UTS, yang mana akhir bulan depan. Kayaknya nggak mungkin sih HAHAH. Pada mau ini sampe berapa chapter? Dan bagaimana komentar kalian tentang cerita ini sejauh ini? Tambah garing ya? :')

Makasih buat semua yang udah setia nunggu cerita ini, apalagi yang nge-vote+comments, kalian benar-benar membuat hariku lebih menyenangkan hahahapasih. Meskipun cerita ini makin gaje ye kan.

Last, votes nya bisa doooong?;))

 

The Boy From the Next DoorWhere stories live. Discover now