[Twenty Nine]

3K 335 32
                                    

Mungkin ada yang ga ngerti di chap sebelumnya? Wanda lupa ngejelasin soalnya ngetik juga sambil ngerjain pr(?). Nah, jadi gini, setelah Zoey bilang kalo Louis itu pacarnya, Harry jadi gimana ya—nentang, nyindir-nyindir Louis gitulah pokoknya. Masa dosen tapi pacaran sama mahasiswanya sendiri. Get it? Let me know if youre still confused, ok? Andddd happy reading!

Twenty Nine | TBFND

“Zoey, bangun!”

“5 menit lagi.” Aku menggeliat dan membenamkan wajahku ke bantal yang kupeluk.

“Tidak.”

“Kalau begitu 10 menit.”

“Seseorang tengah mengincar kamar kita sebagai sasaran bom, Zoey. Kusarankan kau segera bangun jika tidak ingin mati dengan tubuh yang sudah tak utuh lagi, atau lebih parahnya dengan muka kasur seperti ini.” Setelah beberapa detik tak menggubris pernyataan konyol Kathy yang sudah kuketahui luar dalam hanya karena efek dari film aksi yang ditontonnya seminggu terakhir ini, aku tak merasakan lagi keberadaannya di sekitarku. Aku melebarkan mataku dan mengerjap beberapa kali.

“Kathy bodoh.” 

Baru saja menginjakkan sebelah kakiku di lantai, aku mendengar suara sendok yang terjatuh diikuti letupan pistol yang memekakan telinga. Selanjutnya yang aku tahu adalah aku yang berlari ke seluruh penjuru kamar setelah mendengar teriakan Kathy.

*

“Kau keberatan memberi tahuku ini tanggal berapa?” tanyaku pada seorang di sampingku. Sebenarnya aku enggan sekali berjalan bersamanya bahkan mengobrol bersamanya, tapi apa boleh buat.

“Uhm, tanggal 8, mengapa kau menanyakannya?” jawabnya yang kuyakin dengan cengiran lebarnya itu karena akhirnya aku membuka suara. Aku memutar kedua bola mataku kesal. Permainan ini sama sekali tidak lucu.

“Pantas saja,” gumamku. Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya dan bertanya ada apa dengan hari ini.

“Tidak ada, tapi buku mendiang kakekku yang berisi tentang ramalan konyol, mengatakan bahwa hari sialku ada pada tanggal 8, tiga bulan sekali, tapi kurasa sekarang menjadi setiap hari.” Aku menjawab pertanyaannya tanpa menghentikan langkahku maupun sekedar menoleh.

Ow, that’s hurt,” ucapnya setelah mengimbangi langkahku sembari memegang dadanya dramatis. “Jadi kau menganggapku kesialanmu? Menarik. Mungkin aku kesialan terindahmu, bukan begitu, nona?” rayunya dengan nada yang sumpah menjijikkan sekali. Tolong berikan aku penyumpal telinga!

“Terserah apa katamu,” jawabku datar tak ingin memancing obrolan lebih jauh lagi.

“Mengapa 8 menjadi sesuatu yang sial bagimu? Lihat, aku tak bertangan delapan atau lahir pada tanggal 8, jadi aku bukan kesialanmu,” ujarnya yang kini berjalan di depanku dengan posisi menghadapku. Ya, ia berjalan mundur di depanku. Rumit? Yang penting seperti itulah, pikirkan saja sendiri, aku sedang malas menjelaskannya mengingat suasana hatiku yang sedang buruk.

“Mungkin Kathy lahir pada tanggal 8.” Aku terus saja berjalan tak mempedulikannya yang berjalan di depanku dan terkadang menyenggol beberapa orang yang lewat. Ya Tuhan, tolong ampuni ke-idiot-annya. Tepat saat aku hendak menegurnya untuk berjalan normal, ia menyenggol bahu seseorang yang tengah membawa kopi di tangannya dan—

“AAAAAA!!” teriakku kencang saat kopi panas yang dibawa pemuda itu terjun bebas dari cup-nya dan mendarat di pakaianku. Kubilang apa, ini hari yang sial sial sial!

Aku mengibaskan tanganku di depan pakaianku yang terkena kopi panas tadi, berharap itu mengurangi rasa panasnya dan tak berbekas merah di kulitku, sementara pemuda tadi mengucapkan maaf padaku. Aku mengangguk dan memaksakan tersenyum padanya berkata bahwa aku baik-baik saja. Tapi kau tahukan, ‘aku baik-baik saja’ adalah kebohongan terbesar perempuan. Huh. Apa aku benar-benar ditakdirkan sial?

The Boy From the Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang