[Thirty]

3.1K 318 33
                                    

Thirty | TBFND

Aku menggeram kesal tertahan ketika menyadari bahwa tadi aku menurut saja saat Harry membawaku ke kafe yang berada tepat di depan kampus. Bodohnya, Zoey. Penyesalanku sekarang tak akan mengubah apapun.

Aku memilih untuk duduk di salah satu meja kafe di dekat jendela sementara Harry, kurasa ia sedang memesan. Suasananya cukup nyaman jika disandingkan dengan harga menu yang ditawarkan, terjangkau—spesial kantong mahasiswa.

Melihat keluar jendela, secara otomatis memerintahkan otakku untuk merancang segala cara yang paling jitu untuk kabur dari sini. Tapi kertas dengan coretan rencana kabur di otakku itu tiba-tiba lenyap saat Harry menarik kursi di hadapanku dan meletakkan nampannya di atas meja.

"Kembali ke dunia nyata, Zu." Harry menjentikkan jarinya sebelum mendudukkan dirinya di kursi. Aku mendengus—sedikit begidik—ketika mendengar nama panggilan yang Harry tujukan untukku.

"Terimakasih dan maaf, mungkin kau salah orang." Aku memamerkan pin bulat yang kutempel di tasku dengan wajah datar. Pin tersebut bertuliskan 'Zoey'—namaku—pada Harry. Ya, itu pin dari para panitia orientasi mahasiswa beberapa waktu yang lalu. Harry sesaat menaikkan satu alisnya lalu terkekeh.

"Zu, panggilan sayang dariku untukmu, tak apa kan?"

Aku memutar bola mataku kesal ketika selesai mendengar kalimat yang dilontarkan Harry. Panggilan sayang? Konyol. Memangnya ada apa di antara kami? Tidak ada.

Hei, tidak tidak! Aku tidak berharap terjadi sesuatu di antara kami!

"Aku senang kau mau kuajak ke sini." Harry mengangkat satu gelas berisi cairan coklat—yang kutebak adalah susu kocok—dari nampan dan meletakkannya di hadapanku. "Kau tahu, hanya…ehm, permintaan maafku saja. Tentang insiden tadi pagi serta noda kopi di bajumu."

Insiden tadi pagi, oh. Iya, ada beberapa kejadian telah terjadi pagi ini. Pertama; pakaianku yang terkena noda kopi, kedua; Harry yang meminjamkan jaketnya padaku, yang sampai saat ia masih melekat pada tubuhku. Entahlah, rasanya nyaman—ASTAGA! Maksudku, rasanya sungguh tak sedap dipandang jika aku melepas jaketnya sehingga terlihatlah pakaianku yang tadinya polos namun sekarang sudah macam bermotif polkadot. Oke, yang ketiga; sewaktu ia berteriak dengan otak kosongnya bahwa ia menyukaiku. Yang terjadi setelah itu adalah semua mata yang mengarah padaku dan Harry, tak lupa pekikan para penggemar Harry yang sedetik kemudian melempar tatapan bak pisau belati padaku. Seriously? Apa salahku sesungguhnya sampai aku dihadiahi ujian bertubi-tubi seperti ini? Jika kau bertanya, maka, ya, Harry dengan cepat sadar dengan apa yang dilakukannya—seolah-olah saat ia berteriak ia tengah berada di bawah alam sadar atau pengaruh kokain—lalu tersenyum minta maaf pada orang-orang yang menonton adegan gratis itu sembari berkata bahwa ia hanya sedang latihan drama dan setelah itu menarikku menjauh. Dan, ya, itu sangat memalukan.

Oh, tidak. Aku tidak menanggapi serius tentang teriakannya itu.

Aku menarik gelas di hadapanku agar lebih dekat lalu menatapnya yang juga tengah menatapku lekat. Terdiam sebentar sebelum akhirnya mesin roda di otakku berputar menghasilkan gelombang kejahatan. "Hm, semudah itu?" tanyaku, berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan seringaian jahat Zoerra—jika kau lupa, Zoerra adalah gadis batinku yang jahat, oke lupakan saja.

"Eh? Apa yang bisa kulakukan agar kau memaafkanku? Anything," jawab Harry dengan wajah setengah bersalah dan setengah memohonnya. Aku menyeringai.

"Anything?" Seketika, mataku yang tadi redup karena kesal langsung berbinar terang seperti jutaan lentera di film Tangled. Oh, aku terlalu banyak menonton film Disney. Aku tahu kau pasti berpikir 'orang berkarakter macam Zoey menonton serial Disney? Menjijikkan.' Terserah dan tak peduli.

The Boy From the Next DoorWhere stories live. Discover now