[Twenty Eight]

2.6K 281 15
                                    

Twenty Eight | TBFND

"Apa yang kau katakan pada Harry tempo hari?"

Suara bernada datar itu menginterupsiku dari dengungan pengulangan kalimat yang kubaca di otakku. Mendongak, aku mendapati Louis berdiri di depan mejaku, lalu sedetik kemudian sudah duduk manis di hadapanku sembari meletakkan gelas minumannya di meja.

Sejak jadwal kuliah dimulai, aku jadi sering bertemu dengannya. Entah di kelas, saat aku sepangkat lebih rendah di bawahnya—mahasiswanya—maupun di luar jam kampus seperti saat ini. Seperti saat ini, entahlah ada angin apa yang membawanya kemari dan menemukanku. Mungkin angin puyuh. Mengingat ia tak lebihnya dari seorang anak burung puyuh dengan suaranya yang merusak gendang telinga.

"Mengatakan apa?" Aku kembali menelusuri kalimat terakhir dari alinea yang kubaca tanpa menghiraukan Louis yang kini duduk di hadapanku dan menampakkan wajah ingin tahunya. Kau bertanya aku sedang apa? Oh, hanya sedang berusaha memahami buku setebal batu bata yang diberikan oleh dosenku yang gelarnya bahkan melebihi panjang gerbong kereta.

"Mana aku tahu, jika aku tahu, aku tak akan menanyakannya padamu," jawabnya datar lalu mulai meneliti tumpukan buku yang ada di mejaku. Jam kuliah memang sudah berakhir beberapa menit yang lalu, namun aku memutuskan untuk berdiam diri di kafetaria ini sembari menikmati jus stroberi Nyonya Merry sekaligus membaca buku-buku tebal ini, juga karena alasan malas bertemu dengan Kathy. Kami sedang perang dingin karena ia menyalahi perjanjian kami untuk membersihkan kamar sesuai giliran.

"Apanya?" tanyaku tak fokus. Mataku masih tak lepas dari gerombolan tulisan yang—taruhan—membuat keningku berkerut-kerut. Bukannya aku tak mengerti atau bodoh, namun coba bayangkan berada pada posisiku, di saat kau serius membaca sesuatu lalu seseorang mengajakmu mengobrol. Kau tahu perasaan ingin menonjok orang itu tepat di wajah bukan?

Aku mendengar Louis berdecak keras lalu merampas buku yang kubaca. "Dengarkan aku sebentar saja, Nona William," ujarnya ketus. Ia meletakkan buku-bukuku di pinggir meja lalu menatapku serius. "Kukira kau diterima di sini karena nilaimu yang baik, namun kurasa pihak universitas harus mempertimbangkannya lagi," katanya meledek. Well, kurasa ia memilih lawan yang salah.

"Dosen sialan. Jika kau hanya mau mencemoohku, lebih baik aku pergi sekarang karena waktuku terbuang percuma untuk ini." Aku menenteng kembali tasku dan meraih tumpukan buku yang tadi Louis letakkan di pinggir meja dan mulai bangkit berdiri. Sungguh mengesalkan bicara padanya saat ini.

"Ayolah, William, aku hanya bercanda, oke?" Louis terkekeh lalu mengulur tangannya dan membuatku terduduk kembali seperti semula. "Ada sesuatu yang ingin kubicarakan," lanjutnya.

"Jangan memanggilku dengan nama ayahku dan cepatlah, aku tak punya banyak waktu yang bisa kubuang sia-sia untuk omong kosongmu ini," ujarku berbohong sembari melihat jam tanganku.

"Oke, hanya satu pertanyaan, apa yang kau katakan pada Harry saat terakhir bicara dengannya?" tanyanya dengan pertanyaan yang sama dan masih membuatku tak mengerti.

"Apa sih yang kau bicarakan? Bicara dengannya saja aku malas sekali," jawabku asal. Tanganku sudah hendak meraih buku yang berada pada urutan teratas saat tangan Louis mencegahku dan mengisyaratkan untuk menatap matanya.

"Aku serius," ujarnya menekan setiap kata pada ucapannya.

"Dan aku juga. Aku tak mengerti apa maksudmu."

"Jadi, begini—dengarkan baik-baik, Zoey, atau aku akan memborgol tanganmu." Ucapannya membuat tanganku berhenti di udara saat hendak meraih gelas jusku. Aku memutar mataku jengah. Omong kosong apalagi yang akan dibicarakan Louis kali ini, huh.

"Tak perlu menyumpah serapahiku dalam hati."

"Tak perlu sok tahu dan berlagak membaca pikiranku."

"Siapa Zoey yang waktu itu menangis di pundakku? Mengapa kau sekarang jadi berang begini?" kekehnya yang menurutku sama sekali tak lucu. Menaikkan alis kananku, aku berkata, "To the point, atau isi gelas ini aku berpindah ke wajahmu." Aku mengangkat gelas jusku tadi dan menghadapkannya tepat di depan wajah Louis. Bukannya takut, ia malah semakin menatapku dengan senyum mengejeknya.

"Ow, someone's on their period."

"Good bye." Tanpa memgucapkan sepatah kata lagi, aku bangkit dan memutuskan untuk mencari tempat yang lebih nyaman dan tanpa gangguan. Sungguh, aku sangat tak suka saat laki-laki menghubungkan kemarahan perempuan dengan siklus bulanan mereka. Jika aku marah, apa berarti aku sedang datang bulan? Jawabannya adalah tidak. Memang pada dasarnya saja laki-laki itu menyebalkan, bodoh pula. Mengapa di dunia ini harus tercipta makhluk bernama laki-laki, ugh—cukup, ayahku juga laki-laki!

Aku mengambil semua barang-barangku dan segera pergi dari hadapan Louis yang tiba-tiba saja wajahnya mengingatkanku dengan kubangan babi. Tak mempedulikan seruannya, aku tetap saja berjalan dengan kecepatan maksimum.

"Zoey! Berhenti atau kau tak akan lulus di mata kuliahku!"

"Oh, aku takut sekarang, Tuan Tomlinson," ledekku padanya yang malah membuatnya bergerak lebih cepat dan berhasil mencekal pergelangan tanganku yang bebas.

*

"Kau mengesalkan, menyebalkan, semoga Tuhan mengutukmu menjadi katak," sumpahku pada Louis yang berhasil menarikku duduk di dalam mobilnya. Demi Demetria Lovato, aku curiga bahwa ia akan membawaku kabur dan menjualku di toko daging. Alain, tolong! Temanmu seorang psikopat!

"Kau berharap begitu karena kau ingin menciumku sehingga aku bisa kembali seperti semula kan?" godanya sembari menaik turunkan kedua alisnya. Aku mendengus dan bertingkah pura-pura muntah mendengar ucapannya barusan. Aku? Berharap menciumnya? Bahkan aku lebih rela mencium katak sungguhan.

Kau munafik, kau tahu.

Diam, aku tak membutuhkan pendapatmu, otak!

"Cepat bicarakan apa yang ingin kau bicarakan sebelum aku berteriak minta tolong dengan tuduhan pemerkosaan anak di bawah umur!"

Louis mendengus mendengar ocehan panjangku. Ia menarik nafas dan mulai membuka suara tentang apa yang ia ingin bicarakan padaku tadi.

"Ini tentang Harry. Tapi sebelumnya, aku yakin kau sedang datang bulan."

"TOMLINSON!!"

*

"APA?! KAU MENGATAKAN BAHWA AKU KEKASIHMU?!" pekik Louis yang—untungnya tidak—membuat kaca mobil ini pecah. Bahkan aku yakin pekikannya sampai terdengar oleh beberapa orang yang berlalu-lalang di luar mobil. Pekikannya sudah terdengar seperti pekikan minta tolong saat kau tahu bahwa rumahmu sedang dilalap api.

"Tidak usah memekik seperti anak perempuan, Tommo." Aku melipat kedua tanganku di depan dada melihati orang-orang yang memandang kami layaknya sepasang kekasih yang tengah beradu argumen. Tidak, muka tua Louis mana cocok jika disandingkan denganku!

"Kau gila," ujarnya sambil mengusap wajahnya frustasi.

"Kau juga," sahutku yang mendapat balasan pelototan matanya yang kuacuhkan. Namun detik berikutnya aku menemukan diriku sendiri tengah memohon-mohon padanya. Jika ini tidak menyangkut separuh nyawaku, maka aku pun tak akan sudi melakukan ini.

"Baiklah, baiklah, aku minta maaf. Tapi hanya kau yang bisa menolongku, Louis. Kau tahu, aku bertetangga dengannya di asrama—jangan tanya mengapa bisa—tapi itulah kenyataannya. Lagipula ia sangat menyebalkan, ia menggangguku setiap saat, dan aku sama sekali tak menyukai itu, dengan mengatakan padanya bahwa aku kekasihmu, secara tak langsung aku memperingatkannya agar tak mendekatiku—menggangguku lagi," jelasku pada Louis yang sekarang mengacak-acak rambutnya.

"Tidak bisa. Kau akan berbohong lagi untuk menutupi kebohongan ini, Zoey. Akan ada banyak kebohongan yang kau buat setelah ini," ujarnya serius. Manik birunya serasa mengunci pandanganku dan memaksa otakku untuk mengatakan hal yang tak kalah seriusnya dengan ucapannya.

"Pantas saja ia menyindirku habis-habisan dan membawa-bawa namamu dalam demonya yang tidak kutanggapi," lanjutnya, matanya menerawang keluar kaca jendela mobil. Aku tak menanggapi ucapan Louis lagi dan lebih memilih mempertimbangkan keputusanku yang telah membohongi Harry.

Sebenarnya ada apa dengan anak itu? Apa masalahnya denganku dan Louis? Lalu, jika aku mengakui Louis sebagai kekasihku, memangnya kenapa?

**

zoey boleh pinter deh, tapi gak peka:'))

The Boy From the Next DoorWhere stories live. Discover now