Tiba

32.2K 3.5K 167
                                    

Happy reading setelah nunggu satu semester lebih!

Yang masih setia nunggu mana suaranya??

Btw chapter ini aku kasih warning ++ ya! Hahaha! Love u teman temann!

***

Rakan menatap tumpukan berkas dengan letih, mendapati jam kecil di meja kerjanya menunjukkan pukul dua dini hari. Belum selesai juga, masih ada dua desain yang harus dirampungkan. Sementara di rumah, beban masalah kemarin belum juga terselesaikan.

Tak kunjung ada dialog.

Hari ini Nara memulai pagi terlalu awal, tergesa-gesa datang ke kampus untuk menghindari Rakan. Pikirannya kacau, meski ia tak yakin akan praduganya sendiri.

Menghela napas panjang, Rakan menyudahi pekerjaan itu. Biarkan menjadi beban di esok hari. Langkahnya bergegas pulang, mencoba peruntungan di sepertiga malam. Siapa tahu bisa berbincang menyuarakan penjelasan yang sebenarnya terpendam.

Diputarnya gagang pintu kamar selepas memarkirkan mobil di pelataran, sedikit kaget mengetahui pintu itu berderit tanda tidak dikunci dari dalam. Lebih baik dari kemarin. Lelaki itu mengintip di tengah gelapnya ruangan, Nara di sana meringkuk sendiri di ranjang, rapat ke dinding menyisakan space luas di sebelahnya.

Tanpa perlu meminta izin, Rakan mendekat dan mendudukkan diri di samping Nara. Dilihatnya lekat-lekat. Ia tahu Nara tidak terlelap, dan kedua mata itu lantas terbuka perlahan. Benar saja, malam ini Nara menunggunya masuk entah untuk mendengar apa saja yang akan keluar dari bibirnya atau sekedar ingin berdua memastikan keduanya masih akan bertahan.

Atau mungkin gadis itu hanya lupa mengunci pintu, mengingat sebelum pertengkaram hari itu ia sempat mengatakan pekerjaannya sedang menumpuk.

"Aku boleh di sini, kan?" Memastikan lagi bukanlah hal yang salah bagi Rakan.

Nara menatapnya lekat. Sangat dalam.

Lalu mengangguk sekali.

Dua pikiran yang berkecamuk. Di bawah atap yang sama, di tengah degupan jantung yang saling bersautan, jemari-jemari dua sosok itu perlahan bertautan, tanpa perintah.

"Maaf." Ucap Rakan akhirnya, bersama segenap keraguan yang menahan perasaan untuk terlontar.

Mereka terpaku sejenak untuk sekedar merasa aman, mengetahui kata "kita" masih ada tatkala dekapan di tubuh satu sama lain kian mengerat. Saat yang tepat untuk semua rindu, amarah, cinta, benci, dan ribuan perasaan lain beradu menjadi satu. Sempurna. Ketika amarah perlahan dikalahkan oleh rindu. Tak butuh waktu lama bagi cinta untuk kembali menggantikan benci yang sempat mampir kemarin.

Mengurai pelukannya, Raka menatap Nara tak mengerti.

"Aku boleh ngomong?" Ucapnya terbata-bata. Di sisi lain, Nara tidak merespon apa-apa. Tapi persetan buat Rakan, ia harus mengatakannya sekarang juga.

"Aku nggak tahu dan nggak akan maksa kamu buat kasih tahu semua yang udah kamu denger dari Adit. Apa pun itu. Aku cuma mau kamu dengerin penjelasan dari aku dan percaya sama aku."

Sekali lagi Nara mengangguk.

"Soal Bella dan statusnya sebagai single parent, itu nggak ada hubungannya sama aku. Nggak ada sama sekali. Waktu aku bilang aku udah ngasih apa pun ke dia, bukan berarti dalam hal yang kayak gini. Kamu paham kan maksud aku?"

Untuk ke sekian kalinya, Nara mengangguk.

"Aku putus sama dia dari sebelum masuk kuliah, aku nggak tahu persis gimana dia bisa jadi single parent, itu anak siapa juga aku nggak tahu, dan nggak ada keinginan sedikit pun buat cari tahu."

3600 Seconds from MerapiWhere stories live. Discover now