Penjelasan

37.1K 4.4K 131
                                    

Happy long reading :)

***

Nara memungut guling yang terjatuh di sisi tempat tidurnya, ia hendak membangunkan Rakan untuk yang keempat kalinya. Tadi malam, lelaki itu bilang tubuhnya pegal karena terlalu lama menyetir, pasti pagi ini ia masih kelelahan sehingga sulit sekali untuk bangun.

Nara duduk di pinggir tempat tidur, menatap wajah Rakan yang damai terlelap. Sebenernya ini anak cakep, kalo nggak ngeselin, batinnya. Ia menggerakkan lengan Rakan tapi empunya masih setia mendengkur halus.

Gila ini orang kalo tidur udah kayak mati aja! Gerutu Nara kesal.

Drrttt.

Nara meraih ponsel Rakan yang berderit di atas nakas, ia melihat beberapa notifikasi masuk pada layar yang terkunci. Ada banyak nama yang tidak ia kenal menghubungi Rakan tadi malam, ada juga beberapa pesan menanyakan perlengkapan climbing.

Di baris paling akhir ia melihat nama kontak Kalila menelepon pagi ini, kemudian pesan terbaru juga berasal darinya.

Abang masih idup apa udah dipenggal mertua bang?

Nara mendelik kemudian terkekeh pelan. Pasti adeknya. Dari pesan itu ia tahu bahwa Rakan tidak berbohong soal keseriusannya dengan pernikahan ini. Ia juga benar-benar mendapat dukungan dari keluarganya.

Nara buru-buru meletakkan ponsel ke tempat semula, takut ketahuan dan dicap lancang. Walaupun sebenarnya ia memang masuk kategori lancang. Gadis itu kembali menggoyangkan tubuh Rakan sambil memanggil namanya.

"Bangun buruan, ih."

"Hmmm.." Hanya ditanggapi dengan lenguhan, Nara menggoyangkan tubuh Rakan lebih keras. Tapi Rakan justru menarik tubuhnya secara tiba-tiba, membuat Nara iku terhuyung ke samping.

Tidak, mereka tidak saling tindih seperti adegan drama korea. Nara terjungkal beberapa senti di sebelah Rakan, sementara lelaki itu lanjut tidur tanpa terbangun sedikitpun.

Belum sempat bangkit, Nara merasa pintu kamar terbuka kemudian suara pekikan wanita menyusul tidak lama.

"Nara!!" Wanita itu berdiri dengan tangan menutup mulut karena terkejut.

Gadis itu segera bangun dan gelagapan dibuatnya. Rakan sudah terduduk tegap setelah teriakan maut memekakkan telinganya. Lelaki itu mendelik menyadari situasi yang dihadapinya kini jauh lebih buruk ketimbang ekspektasinya kemarin.

Mereka berdua bangkit dari kasur, sementara Farida, wanita yang merupakan Ibu Nara masih setia terpaku melihat kelakuan putrinya.

"Nara, kamu.."

"Saya bisa jelasin." Ucap Rakan menatap lurus ke arah Farida.

"Ke ruang tamu sekarang!"

Wanita itu berbalik meninggalkan Nara dan Rakan yang tak berkutik. Mereka saling tatap mencoba menetralkan perasaannya.

"Gue takut ngomongnya." Cicit Nara.

Rakan menatap gadis yang tengah bergetar di hadapannya, sedang menggigit kuku dengan raut tak terbaca.

"Biar gue aja." Ucap Rakan mengangguk pasti.

***

Farida meneguk air putih dengan kasar, mencoba meredam amarahnya yang memuncak. Ia tahu kasih sayangnya sangatlah kurang tercurah untuk Nara semenjak ia bercerai dengan Adam-Ayah Nara. Mereka berpisah dengan cara yang kurang baik, bahkan luka itu masih membekas hingga saat ini. Tapi ia tidak pernah sekalipun membayangkan kehidupan putrinya akan sebebas itu, membawa laki-laki ke rumah untuk tidur di atas ranjang yang sama. Terdengar sangat liar.

3600 Seconds from MerapiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang