Kedai Kopi, We Start It!

42.8K 4.8K 113
                                    

Hey, peeps!!

***

Bintaro, 22 Juni 2018.

Tiga hari sejak kembali ke Jakarta, Rakan terus mencoba menghubungi Nara. Tapi gadis itu tampak uring-uringan dan lebih pendiam dari biasanya. Bahkan sejak meninggalkan puncak Merapi, ia tampak menghindari Rakan meski hanya sekedar kontak mata.

Nara menyesal. Semua tindakan yang diambilnya akhir-akhir ini membuatnya mengutuk diri sendiri. Ia menyesal menyetujui ajakan Anya untuk mendaki ke puncak Merapi, ia menyesal atas kecerobohannya selama pendakian, ia menyesal atas semua hal kecil yang sebenarnya sudah ditakdirkan terjadi.

Di sisi lain, yang ada di pikiran Rakan hanyalah meluruskan keadaan. Duduk berdua membicarakan masalah ini dengan serius, mencoba mencari jalan terbaik yang bisa didapat. Maka di sini lah mereka sekarang, di sebuah kedai kopi daerah Bintaro. Sesuai permintaan Nara, mereka memilih tempat yang jarang terjangkau teman-teman kampusnya.

Nara meneguk flat white miliknya, mencoba mengalihkan perhatian dari tatapan mata Rakan.

"Gue mau ketemu sama orang tua lo."

Nara mengerjapkan matanya berkali-kali. "Hah? Gimana?"

"Gue nggak bisa lari gitu aja. Maaf. Gue harus ambil serius masalah ini."

Jauh di dalam hati, Nara juga merasa bimbang. Dia bisa saja berpura-pura tidak terjadi apa pun, dan melanjutkan semuanya seperti hari kemarin. Tapi hati dan pikirannya tidak sebodoh itu untuk melupakan insiden di antara mereka. Mengingat kata-katanya di perjalanan menuju puncak, ia merasa begitu salah pada dirinya dan Rakan. Pernikahan itu tanggung jawab mereka kepada Tuhan.

"Udah bilang sama orang tua lo sendiri?"

Rakan mengangguk samar. Pandangannya nanar dan tampilannya sangat kacau. Kemarin ia sengaja datang ke rumah orang tuanya untuk membicarakan masalah ini.

Flashback on.

Rakan melangkah memasuki pintu rumahnya dengan degup jantung yang senantiasa mengiringi. Dengan segala kemungkinan terburuk, ia berani bertindak mengambil resiko.

"Ma.."

Seorang wanita tengah berdiri menata makanan di meja makan. Rita, raut wajahnya sedikit terkejut namun disusul dengan senyum sumringah. Rakan menghampiri untuk mencium punggung tangan ibunya, kemudian mengecup singkat pipinya.

"Loh Bang Toyib inget rumah?" Candanya yang hanya ditanggapi senyum singkat oleh Rakan.

Sudah sekitar tiga bulan ia tidak datang ke rumah itu. Sejak kuliah ia memilih tinggal di rumah yang ia beli sendiri dari hasil usahanya. Bukannya tidak nyaman dengan suasana keluarga, hanya saja ia ingin lebih mandiri. Lagi pula jarak rumahnya ke kampus jauh lebih dekat ketimbang rumah orang tuanya.

3600 Seconds from MerapiWhere stories live. Discover now