Luka Baru

9.9K 842 217
                                    

Heiyoo, penuh cinta buat kalian yang selalu sabar nunggu update :)

***

Sebelumnya seperti biasa aku selalu baca komentar teman-teman semuaaa dan aku sangat happy atas semua komentar yang isinya support dan kritik yang disampaiin.

Terkait chapter-chapter awal khususnya part ijab kabul memang kurang greget dan kurang sesuai sama ketentuan (terutama secara agama). Jadii sekalian aku announce hari inii kalau...

🌙 3600 SECONDS FROM MERAPI SEKARANG LAGI DALAM MASA PENGEDITAN KARENA UDAH DILIRIK PENERBIT!!!! 🌙

Alias akan segera diterbitin setelah tamat di Wattpad (tentunya dengan versi yang lebih baik dan lebih tertata). Jadiii, puas-puasin baca cerita halu ini sebelum terbit dan jangan lupa buat dukung akuuu untuk terjun terbitin buku ke depannya <3


***

Vote dan komen 🔥 dulu karena di chapter ini aku akan bikin kalian ber-🔥🔥

Sad long reading :*

Tandain yang typo yaw

***

Terhitung satu minggu dari sekarang, resepsi pernikahan akan digelar. Bukannya tidak gugup sama sekali, Nara justru tidak sempat memikirkan berbagai hal yang semula dikiranya akan penuh kebahagiaan. Semakin mendekati tanggal yang ditentukan, semakin banyak pula harinya diisi oleh kekacauan karena harus memastikan a, b, c, d, dan e sudah siap seperti perencanaan. Belum lagi tugas kuliah yang juga tidak mau mengalah, semua dosen rasanya berlomba menyuapi mahasiswa dengan tugas. Seolah semakin banyak dan berat tugas yang diberikan, dialah pemenangnya. Seperti hari ini, Nara masih berkutat dengan review teori psikoanalisis klasik Sigmum Freud ketika tangan kanannya tiba-tiba refleks mengangkat telepon yang berdering, menampilkan panggilan dari Bu Widya.

"Selamat Pagi, Bu."

Ketikannya berhenti sejenak, mengalihkan fokus pada diskusi dadakan yang dimulai Bu Martha. Tentunya perihal gaun pengantin yang akan dipakainya beberapa hari mendatang.

"Aahhh... saya coba diskusikan sama Rakan dulu ya bu terkait kapan kami fitting baju pengantinnya. Soalnya masih repot urusan yang di sini juga."

Panggilan ditutup bersamaan dengan suara derit pintu dibuka. Rakan di sana masih menenteng tas punggungnya selepas bimbingan revisi yang memakan waktu hampir tiga jam. Otaknya mendidih setelah terbungkam habis oleh pertanyaan-pertanyaan dosen pembimbing yang tidak disangka akan muncul sebanyak itu. Kebanyakan orang mengira setelah sidang hidup akan damai karena tinggal selangkah lagi menuju puncak perkuliahan, kelulusan. Tapi ternyata segala bentuk kepusingan barulah dimulai. Revisi berjalan selambat siput karena tak kunjung memenuhi ekspektasi pembimbing dan penguji seperti krayon yang siap mewarnai hari-hari mahasiswa renta seperti Rakan.

"Udah makan, Ra?" Dan masih juga memikirkan kesehatan Nara menjadi hal paling utama bagi Rakan.

Meninggalkan seonggok laptop yang masih membuka teori penulis ternama bidang Psikologi, Nara menghampiri Rakan untuk membantu melepas tas dan jaket yang tak kunjung dibuka kancingnya oleh si pemilik.

"Udah masaknya, aku makannya tunggu kamu." Tangannya membuka kancing jaket satu persatu, sementara Rakan tidak mau repot-repot membantu dan memilih menikmati pemandangan di depannya. Padahal mah, tinggal lepas jaket doang. Tapi memang lagi mode manja aja Si Bapak.

3600 Seconds from MerapiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora