HARAPAN DAN PENGORBANAN

1.8K 27 3
                                    

HARAPAN DAN PENGORBANAN

Raymond melangkah dengan semangat saat memasuki kamar rawat inap VIP tempat Hega berbaring. Tapi saat ia mendapati Hega, berharap Hega akan tersenyum lebih lebar di hari ini,,, ia tak pernah menyangka akan mendapati Hega yang dikenalnya selalu tenang, selalu kuat, selalu mandiri… kini menangis.

            “Bu…” Raymond memanggil lembut sambil cepat menghampiri ke tepi ranjang. Kali ini Hega tak menyembunyikan air matanya. Ia membiarkan Raymond melihat semuanya.

            “Bu Hega kenapa?” Raymond memegangi tangan kanan Hega dengan kuat. Tangan Raymond terasa begitu empuk membungkus tangan Hega yang semakin kurus. Hega tak mau memakan makanannya. Dan tak mau di infus. Wajah bulat Raymond berangsur mengerenyitkan dahi. Mata sipitnya yang cuma segaris menatap Hega lekat-lekat.

Hega menoleh pada Raymond. Membiarkan Wajah Raymond dekat dengannya, menatapnya. “Saya lelah, mon…”, desis Hega.

Raymond sempat salah tingkah, bingung harus melakukan apa. “Ya, udah… ibu tidur aja… saya temenin ya, Bu…”

Hega sudah bisa menggeleng. Menjalani terapi, pengobatan dan operasi selama dua tahun lamanya, membuat Hega sudah bisa mencoba untuk duduk. Tapi ia belum juga bisa berjalan. Perlahan-lahan, hal itu mulai menggerogoti keyakinannya…

            “Saya lelah dengan hidup ini, mon…” air mata Hega terus mengalir.

Raymond terhenyak mendengarnya. “Bu Hega… Ibu gak boleh putus asa. Kan baru... dua taon, bu… selama Ibu hidup, jangan pernah putus asa, ya…”

            “mon”, mulai Hega lagi, “Kamu tau… saya orang yang tepat target. Dokter bilang lima bulan… saya tau kemungkinan adanya penguluran waktu untuk kesembuhan saya… bukan saya gak mensyukuri kemajuan saya… tapi saya berusaha lebih keras… saya rajin ikut terapi… saya minum semua obat… saya juga cari dokter ahli yang lain… tapi beberapa pendapat lain tentang keadaan saya membuat saya lelah…”

            “Memangnya kenapa, Bu? Dokter ada yang bilang apa?”

            “Dokter udah berusaha… saya juga berusaha… saya sudah ke luar negeri… tapi kemajuan saya begitu lambat…” Hega mulai terisak. “Saya lelah, mon…”

            “Ibu gak boleh putus asa, ya… saya akan selalu ke sini setiap pulang kerja…”, kata Raymond terus mengingatkan.

Hega geleng-geleng lagi. “Gak usah ngerepotin diri kamu, mon…”

Raymond juga langsung menggeleng-geleng dengan cepat. “Saya gak ngrasa repot, bu! Bener!!!”

            “Kamu berharap apa dari saya, mon? Maaf, mon… gak ada manusia di dunia memberi tanpa pamrih…”

Raymond terhenyak mundur. Kalimat itu cukup menyilet hatinya. “Bu…”, katanya lemah. “Kok, ibu bilang gitu… Saya tau, Ibu tau perasaan saya… tapi saya gak picik, Bu… saya selalu menganggap diri saya berharga. Dan saya layak dicintai dengan murni. Bukan karna balas budi kalo itu yang mengganggu pikiran ibu…”

Hega menatap mata Raymond lagi lekat-lekat. “Saya nyerah”, katanya. “Saya akan melepas semua ambisi saya… saya cuma mau hidup dengan orang yang mencintai saya… apa kamu mencintai saya?” Hega menatap, menunggu dengan mata yang terus berlinang.

Raymond terdiam. Merunduk dengan raut sedih. “Saya tau hati Ibu… Ibu gak mencintai saya… saya selalu menemani Ibu hanya sebagai seorang saudara, Bu…”

Hega terdiam terpaku sampai beberapa saat. Sampai tangisan mengerang mulai keluar bertahap dari mulutnya… Hega menangis dengan lebih nyata. Sungguh-sungguh menangis. “Jadi… kamu pun… menolak saya?” Hega bertanya dengan nafas mulai tersengal. Kram dan sesak nafas mulai menyerangnya. Suaranya berubah parau…

NURANIWhere stories live. Discover now